Setelah Tak Berkuasa, 15 Mantan Gembong Zionis Ini Menyebut ‘Israel’: Apartheid
23 August 2024, 17:59.

Tembok apartheid di Tepi Barat terjajah dan menara pengawas militer penjajah Zionis. Foto: Apaimages
Oleh: Zachary Foster
(palestine.beehiiv.com) – Selama beberapa dekade, para pemimpin politik dan militer ‘Israel’ bertanya-tanya, apakah ‘Israel’ akan menjadi negara apartheid?
Kemudian, setelah masa jabatan mereka berakhir, dan gelar mereka adalah mantan kepala Mossad, atau mantan kepala Shin Bet, atau mantan menteri, mereka muncul untuk mengatakan, sayangnya, ‘Israel’ telah menjadi negara apartheid!
1967
Pada tahun 1967, mantan Perdana Menteri David Ben-Gurion mengatakan tak lama setelah penaklukan Gaza dan Tepi Barat bahwa ‘Israel’, “Lebih baik melepaskan diri dari wilayah tersebut dan penduduknya sesegera mungkin… jika tidak, ‘Israel’ akan segera menjadi negara apartheid.”
Apakah “segera” berarti setahun? Satu dekade? Setengah abad?
1976
Pada tahun 1976, ketika hanya ada sekitar 3.000 warga sipil ‘Israel’ yang tinggal secara ilegal di wilayah Palestina terjajah, Perdana Menteri Yitzhak Rabin menyebut permukiman tersebut sebagai kanker. Namun, sesuatu harus dilakukan “Jika kita tidak ingin menjadi apartheid,” katanya.
Dia mengawali poin ini dengan mengatakan kepada pewawancaranya untuk merahasiakan bagian ini. “Saya telah mengatakan, dan ini saya minta dengan sungguh-sungguh untuk tidak digunakan, saya tidak akan [mengatakannya di depan umum].”
Rabin memahami bahwa permukiman ilegal dan apartheid adalah dua sisi mata uang. Mustahil bagi ‘Israel’ untuk memiliki salah satunya tanpa yang lain.
2000
Pada tahun 2000, pemimpin ‘Israel’ Ariel Sharon mengakui secara pribadi bahwa “model Bantustan adalah solusi yang paling tepat untuk konflik ini.”
Visi Sharon untuk Palestina adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri dari 11 kanton yang didemiliterisasi dan terpisah-pisah yang tunduk pada kekuasaan militer ‘Israel’.
Sharon, bersama dengan para pemimpin ‘Israel’ lainnya, seperti Rafael Eitan dan Eliahu Lankin, percaya bahwa ‘Israel’ dan Afrika Selatan berada dalam situasi yang sama. Kedua negara itu tampaknya sama-sama menghadapi “teroris” yang bertekad menghancurkan mereka.
Itulah sebabnya dia sering menginterogasi seorang pejabat ‘Israel’ yang memiliki pengetahuan mendalam tentang rezim Afrika Selatan untuk mempelajari praktik-praktik terbaik apartheid.
Pada pertengahan tahun 2000-an, “Proses Perdamaian” Oslo telah mati sehingga pemerintahan apartheid ‘Israel’ semakin sulit untuk disangkal. Lantas, dimulailah serangkaian pernyataan bernada apartheid dari para pejabat dan mantan pejabat ‘Israel’:
2006
Pada tahun 2006, mantan Menteri Pendidikan Shulamit Aloni menerbitkan sebuah artikel di surat kabar populer ‘Israel’, Yedioth Ahronoth, yang berjudul “Memang, Apartheid di ‘Israel’.”
2007
Pada tahun 2007, Perdana Menteri ‘Israel’ Ehud Olmert mengatakan kepada media ‘Israel’ tak lama setelah “Konferensi Perdamaian” di Annapolis gagal membawa perdamaian kepada siapa pun:
“Jika saatnya tiba ketika solusi dua negara gagal, dan kita menghadapi perjuangan ala Afrika Selatan untuk mendapatkan hak suara yang setara (juga untuk warga Palestina di wilayah-wilayah tersebut) maka segera setelah hal itu terjadi, Negara ‘Israel’ akan tamat.”
2008
Pada tahun 2008, mantan Menteri Lingkungan Hidup Yossi Sarid menerbitkan sebuah artikel serupa yang berjudul, “Ya, ini adalah Apartheid” di mana ia mencoba untuk menarik perhatian masyarakat umum ‘Israel’:
“Orang kulit putih Afrikaner juga memiliki alasan untuk kebijakan segregasi mereka; mereka juga merasa terancam—kejahatan besar sedang mengintai mereka, dan mereka ketakutan, berusaha membela diri,” tulisnya.
2010
Pada tahun 2010, mantan Perdana Menteri ‘Israel’ Ehud Barak menyatakan dalam sebuah konferensi keamanan di Herzliya:
“Selama hanya ada satu entitas politik yang disebut ‘Israel’ di wilayah sebelah barat Sungai Yordan ini maka wilayah itu akan menjadi non-Yahudi, atau non-demokratis… Jika blok jutaan warga Palestina ini tidak dapat memberikan suara maka itu akan menjadi negara apartheid.”
Bagi para Perdana Menteri ‘Israel’, bahkan yang sudah tidak menjabat sekalipun, pengakuan apartheid selalu menjadi hal yang sulit untuk diterima. Barak, seperti halnya Olmert, Rabin, dan Ben-Gurion, lebih memilih menggunakan bentuk masa depan (future tense).
‘Israel’ tidak mungkin menjadi negara apartheid sekarang. Label apartheid hanya diperuntukkan bagi masa depan yang belum ditentukan, malapetaka yang akan datang yang selalu mengintai di cakrawala.
2013
Pada tahun 2013, Alon Liel, mantan Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri dan mantan Duta Besar ‘Israel’ untuk Afrika Selatan, menyatakan dengan cukup blak-blakan, “Dalam situasi yang ada saat ini, hingga negara Palestina terbentuk, kita sebenarnya adalah satu negara. Negara bersama ini—dengan harapan bahwa status quo ini hanya bersifat sementara—adalah negara apartheid.”
Meskipun Liel juga mencoba untuk menutupi posisinya, dengan menggambarkan situasi tersebut sebagai “jurang apartheid” atau “semacam apartheid ‘Israel’.”
Sama seperti pejabat ‘Israel’ lainnya, Liel harus menunjukkan bahwa dia bersikeras menggunakan kata apartheid justru karena Zionismenya. Keinginannya untuk menyelamatkan negara Yahudi itulah yang membuat dia menyebutnya sebagai negara apartheid. Label tersebut kini menjadi simbol sayap kiri Zionis sebagai senjata retorika untuk melawan sayap kanan Zionis.
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak suara dari kaum Zionis liberal yang menyebut ‘Israel’ sebagai negara apartheid.
2020
Dalam memoarnya pada tahun 2020, mantan kepala Shin Bet, Ami Ayalon, menulis bahwa ‘Israel’ “hanya dapat digambarkan sebagai negara apartheid.” Dia melanjutkan: “dua set hukum, aturan, dan standar, serta dua infrastruktur… kami telah menciptakan situasi apartheid di Yudea dan Samaria, di mana kami mengontrol warga Palestina dengan paksa, menyangkal hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.”
2022
Pada tahun 2022, mantan Jaksa Agung ‘Israel’, Michael Ben-Yair, mengatakan: “Dengan sangat sedih, saya juga harus menyimpulkan bahwa negara saya telah tenggelam ke titik terendah sehingga sekarang menjadi rezim apartheid. Sudah saatnya bagi masyarakat internasional untuk mengakui kenyataan ini juga.”
2023
Hanya dalam satu atau dua tahun terakhir, pernyataan-pernyataan semacam ini semakin sering muncul. Pada Februari 2023, jurnalis arus utama, Ron Ben-Yishai, menerbitkan sebuah artikel opini (dalam bahasa Ibrani) yang berjudul “Revolusi peradilan memiliki tujuan lain – Apartheid”;
-Pada Agustus 2023, mantan komandan Komando Utara IDF, Amiram Levin, menyatakan bahwa “ada apartheid yang absolut” di Tepi Barat;
-Pada September 2023, mantan kepala Mossad (dari 2011–2016), Tamir Pardo, mengatakan bahwa “ada negara apartheid di sini… Di wilayah di mana dua kelompok masyarakat diadili di bawah dua sistem hukum yang berbeda, itu adalah negara apartheid”;
-Pada Juni 2024, mantan Direktur Jenderal Perdana Menteri Ehud Barak setuju bahwa “‘Israel’ berubah menjadi Afrika Selatan.”
Polanya sungguh luar biasa. Para pejabat ‘Israel’ menghabiskan karier mereka untuk membela, memperkuat, dan menegakkan rezim apartheid, dan kemudian, setelah mereka pensiun, mereka menyesali pekerjaan mereka selama ini.
Seolah-olah tuduhan apartheid berfungsi sebagai katup pelepas rasa bersalah kolektif mereka.
Pertanyaannya adalah, kapan para pemimpin politik dan militer ‘Israel’ saat ini akan memiliki keberanian untuk menyatakan hal yang sudah jelas, ketika mereka masih bisa melakukan sesuatu tentang hal itu? (palestine.beehiiv.com)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
