Prancis Dakwa CEO Telegram dengan 12 Tuntutan Pidana, Penjajah Zionis Tuding Platform Itu ‘Tidak Kooperatif’
28 August 2024, 12:27.

Salah satu pendiri Telegram, Pavel Durov, terlihat setelah pertemuannya dengan Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia, Rudiantara, di Jakarta, Indonesia, 1 Agustus 2017. Foto: AP Photo/Tatan Syuflana)
(The Cradle) – Pendiri Telegram, Pavel Durov, ditahan oleh otoritas Prancis sebagai bagian dari investigasi kejahatan siber, menurut pernyataan jaksa penuntut Paris pada tanggal 26 Agustus.
Miliarder kelahiran Rusia dan pendiri aplikasi perpesanan populer tersebut ditangkap saat mendarat di ibu kota Prancis pada Sabtu (24/8/2024) malam.
Pernyataan jaksa penuntut menyebutkan 12 pelanggaran berbeda yang sedang diselidiki atas “keterlibatan” dalam kejahatan terorganisir, termasuk transaksi ilegal, pornografi anak, penipuan, dan penolakan untuk mengungkapkan informasi kepada pihak berwenang.
Pernyataan tersebut juga menambahkan bahwa waktu penahanan Durov telah diperpanjang dan dapat berlangsung hingga Rabu (28/8/2024).
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, mengkritik otoritas Prancis atas standar ganda mereka menyusul penangkapan Durov. “Saya baru ingat bahwa pada tahun 2018, sebuah kelompok yang terdiri dari 26 LSM, termasuk Human Rights Watch, Amnesty International, Freedom House, Reporters Without Borders, Committee to Protect Journalists, dan yang lainnya, mengutuk keputusan pengadilan Rusia untuk memblokir Telegram. Negara-negara Barat juga membuat pernyataan serupa lainnya,” kata Zakharova.
Telegram telah memainkan peran penting dalam perang informasi yang sedang berlangsung seputar genosida di Gaza. Para pendukung Palestina dapat menggunakan aplikasi ini untuk secara bebas membagikan informasi yang mengekspos kejahatan perang “Israel” yang sedang berlangsung sambil menyoroti upaya Hamas untuk melawan “Israel”.
Tidak jelas apakah “Israel” terlibat dalam penahanan Durov di Paris pada hari Sabtu.
Pekan lalu, Haaretz melaporkan bahwa “Telegram telah terbukti menjadi tantangan besar bagi ‘Israel’ sejak dimulainya perang.”
Ini termasuk kebocoran data sensitif dari “Israel” yang diperoleh oleh para peretas dan dirilis di saluran Telegram.
Haaretz mencatat, “Meskipun banyak perusahaan teknologi telah menyederhanakan mekanisme yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menghubungi mereka” guna menyensor konten, “Telegram dianggap sebagai yang paling tidak kooperatif di antara semuanya.”
Haaretz juga menambahkan, “Selain itu, ketika banyak platform media sosial telah berinvestasi besar-besaran dalam hal moderasi, yang memungkinkan orang dan organisasi untuk membantu memantau konten – misalnya, penghapusan konten atau unggahan antisemit yang menghasut terorisme atau bahkan penghapusan video dari pembantaian 7 Oktober – Telegram tidak melakukannya.”
Penjajah Zionis telah berhasil mengendalikan dan menyensor informasi di aplikasi media sosial lainnya, termasuk Instagram, Facebook, X, dan TikTok. Mereka melakukan ini melalui lobi Cyberwell, sebuah LSM yang memiliki hubungan erat dengan intelijen “Israel”.
Pada tanggal 23 Agustus, saluran Telegram milik Resistance News Network (RNN) diblokir di seluruh Uni Eropa sehingga mendorong mereka untuk mengaktifkan saluran cadangannya.
Pada tanggal 16 Agustus, perusahaan induk Facebook dan Instagram, Meta, secara permanen melarang The Cradle dari platform media sosialnya karena diduga telah melanggar pedoman komunitas dengan “memuji organisasi teroris” dan terlibat dalam “hasutan untuk melakukan kekerasan.”
The Cradle telah memiliki lebih dari 107.000 pengikut dan mengumpulkan jutaan penayangan karena liputannya mengenai genosida “Israel” terhadap warga Palestina di Gaza.
Khawatir dengan gelombang konten pro-Palestina, orang-orang “Israel” di industri teknologi di akhir tahun 2023 mencoba untuk menghubungi pendiri Telegram di Uni Emirat Arab, tempat ia tinggal dan memiliki kewarganegaraan.
Meskipun mereka berhasil menghubungi Durov, “Dia tidak menerima permintaan pribadi untuk meningkatkan moderasi di platform tersebut,” tulis Haaretz.
Penangkapan Durov merupakan tindak lanjut dari upaya-upaya yang dilakukan oleh negara-negara Barat baru-baru ini untuk membungkam para jurnalis dan analis yang kritis terhadap “Israel”.
Pada tanggal 7 Agustus, FBI menggerebek rumah jurnalis Amerika dan mantan inspektur senjata PBB, Scott Ritter, yang berkontribusi pada RT (jaringan televisi yang berbasis di Rusia) dan sangat kritis terhadap kebijakan AS di Ukraina dan “Israel”.
Penggerebekan di rumah Ritter terjadi hanya 24 jam setelah dia menyatakan dalam sebuah wawancara dengan Hakim Andrew Napolitano bahwa orang-orang Yahudi “Israel” yang religius menggunakan kitab Talmud untuk membenarkan tindakan penyerangan seksual dan penyiksaan terhadap para tawanan Palestina di kamp penahanan Sde Teiman yang terkenal kejam.
Jurnalis Suriah-Inggris, Richard Medhurst, ditangkap dan ditahan selama 24 jam setibanya di Bandara Heathrow pada awal bulan ini, demikian yang dia umumkan pada tanggal 20 Agustus.
Medhurst menyatakan melalui media sosial bahwa enam petugas polisi telah menunggunya ketika dia keluar dari pesawatnya di London pada tanggal 15 Agustus lalu, dan menambahkan bahwa dia diinterogasi di bawah Undang-Undang Terorisme, Pasal 12. (The Cradle)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
