Asal-usul Permukiman ‘Israel’ yang Diserang pada 7 Oktober 2023
21 September 2024, 18:46.

Seorang serdadu ‘Israel’ berjalan melewati sebuah rumah yang hancur di Kibbutz Be’eri, dekat pagar pembatas dengan Gaza, pada 11 Oktober 2023. Foto: Menahem Kahana/Getty
Oleh: Zachary Foster, Sejarawan Palestina
(palestine.beehiiv.com) – Mengapa ada setengah lusin permukiman ‘Israel’ yang terletak begitu dekat dengan Gaza?
Be’eri, Nirim, Re’im, Kfar Aza dan Nahal Oz tidak dibangun begitu dekat dengan Gaza secara kebetulan. Permukiman-permukiman ilegal Yahudi ini dibangun pada tahun 1940-an dan 1950-an untuk memperluas perbatasan permukiman Zionis, menguasai lebih banyak tanah, serta bertindak sebagai garis pertahanan dan serangan pertama.
Para anggota permukiman-permukiman ilegal Yahudi ini juga ikut ambil bagian dalam pengusiran warga Palestina dari rumah-rumah mereka di Negev pada tahun 1948, membantai warga Palestina yang melawan, serta mencegah mereka untuk kembali.
Menggunakan ungkapan yang sangat disukai oleh banyak Zionis saat ini, permukiman-permukiman ilegal ini dibangun sebagai “perisai manusia.” Tragisnya, pada 7 Oktober 2023, permukiman-permukiman ilegal tersebut akhirnya memenuhi tujuan mereka didirikan.
Berikut ini adalah sejarah singkat tentang asal-usul permukiman-permukiman ilegal Yahudi yang diserang oleh kelompok pejuang Palestina pada 7 Oktober.
Pada Minggu, 6 Oktober 1946, penjajah Zionis merencanakan untuk mendirikan 11 permukiman ilegal di gurun selatan, termasuk Tkuma, Be’eri dan Nirim. Tanggal 6 Oktober dipilih untuk operasi tersebut karena hari itu adalah hari Minggu, dan otoritas Inggris “suka minum-minum di akhir pekan,” seperti yang dikenang oleh seorang agen Zionis dalam sebuah film dokumenter tahun 1976 yang dibuat mengenai peristiwa tersebut.
Malam itu juga merupakan malam setelah Yom Kippur. “Inggris tidak akan pernah menyangka bahwa orang-orang Yahudi akan melakukan hal seperti itu pada malam setelah Yom Kippur,” kata Yaakov Sharett, yang juga berpartisipasi dalam operasi tersebut.
Beberapa bulan sebelumnya, “Morrison-Grady Plan (Rencana Morrison-Grady)” telah menyerukan kontrol Inggris atas Gurun Selatan, yang dikenal sebagai Naqab dalam bahasa Arab dan Negev dalam bahasa Ibrani (rencana itu menyerukan pembagian wilayah di bagian lain kawasan tersebut). Tentu saja, Zionis ingin agar Gurun Selatan dikuasai oleh Yahudi, bukan oleh Inggris.
Jadi, sekitar 300 pemukim Zionis berangkat di bawah kegelapan pada malam yang menentukan itu dengan 300 truk yang penuh dengan pagar, barak, tempat tidur, makanan, air, dan tentu saja senjata.
Mereka dibagi menjadi 11 kelompok yang masing-masing terdiri dari 30 pemukim, dengan setiap kelompok bertanggung jawab untuk menduduki salah satu dari 11 lokasi. Begitu mereka menduduki lokasi tersebut, mereka berhasil dengan cepat membangun barak, pagar, dan menara sebelum otoritas Inggris sempat campur tangan.
“Tujuan kami adalah menaklukkan Negev, jadi kami harus menempati daerah itu,” kata Miriam Bonim, yang ikut serta dalam operasi tersebut.
Pihak Inggris tiba tak lama kemudian, “dengan marah, berteriak dan mengumpat,” seperti yang dijelaskan oleh seorang pemukim Zionis. “Kami mengatakan kepada mereka untuk tenang, minum dulu. Setelah kotak alkohol ketiga, nada bicara mereka mulai berubah, dan mereka pun menjadi teman kami.”
Begitulah cara Zionis mendirikan Be’eri dan Nirim pada 6 dan 7 Oktober 1946, dua permukiman ilegal ‘Israel’ yang diserang pada 7 Oktober 2023.
Kesebelas lokasi tersebut dipilih karena nilai strategisnya (baca: militer), dan itulah sebabnya mereka mendapat dukungan berkelanjutan dari Jewish National Fund (Dana Nasional Yahudi). Mereka dibangun untuk memperluas perbatasan Yishuv dan berfungsi sebagai pos-pos untuk mengumpulkan informasi intelijen tentang orang-orang Arab di daerah tersebut.
Bercocok tanam hanya mungkin dilakukan jika tersedia air ledeng, yang membutuhkan biaya besar untuk pembangunan dan pemeliharaannya. Dengan kata lain, permukiman-permukiman ilegal Yahudi ini tidak memiliki nilai ekonomi, komersial atau pertanian. Mereka dibangun untuk menjadi garis depan perang yang Zionis tahu harus mereka hadapi untuk mendirikan sebuah negara di Palestina.
Hanya beberapa bulan setelah didirikan, Be’eri dan Nirim membutuhkan para petarung Palmach dan Haganah yang bersenjata untuk melindungi diri mereka dari penduduk Arab. Dalam beberapa kasus, ketika orang-orang Arab Badui dari daerah tersebut berhadapan dengan para pemukim Zionis, Inggris membayar orang-orang Arab tersebut untuk menjaga perdamaian.
Hubungan antara pemukim ilegal Yahudi dan penduduk asli memburuk setelah Rencana Pemisahan PBB pada November 1947. Para petarung Palmach pindah ke permukiman perbatasan, membentengi mereka dan merekrut para pemukim untuk melakukan kegiatan militer. “Tidak ada perbedaan antara warga sipil dan petarung,” demikian menurut salah satu laporan.
Dalam film dokumenter tahun 1976, para peserta Zionis yang diwawancarai dengan bangga mengatakan bahwa mereka telah mengubah pusat-pusat sipil ini menjadi pangkalan militer dan menghilangkan perbedaan antara petarung dan warga sipil. Begitulah cara mereka sendiri ingin dikenang.
Ironisnya, penggunaan perisai manusia kini telah menjadi tuduhan paling umum yang dilontarkan ‘Israel’ kepada Hamas.
Selama Perang 1948, permukiman-permukiman perbatasan Zionis ini juga membantu mengusir orang-orang Arab dari permukiman-permukiman di sekitarnya dan melakukan pembantaian terhadap mereka pada bulan Mei 1948.
Warga desa Arab yang berada di dekatnya, Huj, menandatangani perjanjian tertulis dengan para pemukim Zionis bahwa mereka diizinkan untuk tetap tinggal, “tetapi mereka diusir seperti 247 desa lainnya di daerah ini, sebagian besar ke Gaza.”
Para petarung Yahudi juga mengusir klan Abu Yahiya, para pria dipisahkan dari para wanita. Beberapa di antara mereka ditembak dan sisanya diusir. Di Burayr, di mana terdapat perlawanan terhadap dominasi Yahudi, para pemukim Zionis dari kota-kota perbatasan membantu melakukan pembantaian antara puluhan hingga seratus warga Palestina. Mereka juga mengusir penduduk desa-desa terdekat, seperti Sumsum, Najd, Muharraqa dan Kaufakha.
Kemudian, setelah ‘Israel’ mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara pada Mei 1948, Nirim bertempur dalam pertempuran sengit dengan pasukan Mesir. Tujuh pemukim ‘Israel’ tewas dan banyak lagi yang terluka, yang menyebabkan kehancuran total permukiman perbatasan. Namun, para tentara sipil Nirim tetap bertahan dan melawan pasukan Mesir.
Metode mengintegrasikan warga sipil dan tentara ini terbukti efektif dan dilanjutkan pada tahun 1950-an. ‘Israel’ membangun 25 permukiman ilegal Yahudi lagi di gurun selatan untuk memperkuat garis depan, termasuk Re’im, Kfar Aza, dan Nahal Oz, yang merupakan kependekan dari Nahalim Mul Aza, yang berarti “Tentara Nahal di seberang Gaza.” Permukiman-permukiman ilegal Yahudi ini juga terkena dampak serangan pada 7 Oktober 2023.
Awalnya, status “warga sipil” ‘Israel’ di kota-kota perbatasan baru ini “identik dengan tentara cadangan,” menurut sejarawan ‘Israel’ Yoav Gelber. Permukiman “sipil” ini bahkan diorganisir dalam kompi-kompi dan peleton-peleton, serta diintegrasikan ke dalam hierarki komando dan kontrol militer ‘Israel’.
Di Nahal Oz, misalnya, yang memiliki 70 penduduk dewasa pada tahun 1950-an, 16 orang di antaranya ditugaskan untuk berjaga setiap hari. Militer ‘Israel’ melatih dan membekali para warga sipil ini dengan keterampilan-keterampilan sipil klasik seperti menembakkan senapan mesin dan menembakkan roket anti-tank.
Sepanjang tahun 1950-an, permukiman-permukiman ilegal di perbatasan ini menjadi sasaran serangan dari kelompok Fedayeen Palestina, termasuk perampokan, sabotase, dan tindakan kekerasan. Hal ini menyebabkan permukiman-permukiman di sekitar Gaza berada dalam keadaan “teror dan panik” selama hampir satu dekade.
Tugas permukiman-permukiman ilegal Yahudi ini adalah untuk mencegah para pengungsi Palestina, yang secara paksa “dipagari” di balik garis gencatan senjata Gaza, agar tidak kembali ke rumah-rumah mereka di negara palsu ‘Israel’ yang baru saja didirikan.
Permukiman-permukiman ilegal Yahudi ini juga menjadi basis operasi militer ofensif yang dilakukan di Gaza selama satu dekade sebagai upaya ‘Israel’ untuk memberantas perlawanan Palestina dari Gaza.
Moshe Dayan, Kepala Staf IDF, menggunakan Kfar Aza sebagai markas militer dalam serangan Februari 1955 ke Gaza, yang dikenal sebagai Operation Black Arrow (Operasi Panah Hitam). Serangan tersebut merupakan serangan paling berdarah yang dilakukan oleh ‘Israel’ terhadap Gaza sejak perang 1948, yang mengakibatkan 8 tentara ‘Israel’, 14 tentara Mesir, dan 2 warga Palestina tewas.
Sebelum serangan tahun 1955, kebijakan Mesir yang jelas dan konsisten sebenarnya adalah untuk mengekang serangan Palestina ke ‘Israel’, tetapi agresi ‘Israel’ mendorong Mesir untuk berubah pikiran dan mengizinkan para pejuang Palestina untuk lebih leluasa melakukan serangan terhadap target-target ‘Israel’.
Kembali ke 7 Oktober 2023. Sekali lagi, Be’eri, Nirim, Re’im, Kfar Aza, dan Nahal Oz secara tragis memenuhi tujuan mereka dibangun, yaitu untuk bertindak sebagai garis pertahanan pertama bagi negara palsu ‘Israel’. (palestine.beehiiv.com)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.