Warga Palestina yang Dipaksa Keluar dari Jabalia Ungkap Teror yang Dilakukan Serdadu Zionis

26 October 2024, 21:07.

Warga Palestina yang terusir diperintahkan oleh militer “Israel” untuk mengungsi dari Jabalia di Jalur Gaza utara, 23 Oktober 2024 (Reuters/Hassan al-Zaanin)

(Middle East Eye) – Selama tiga minggu, Muhammed Krayem dan keluarganya hampir tidak dapat menemukan apa pun untuk dimakan karena mereka mengalami pengepungan yang menyesakkan di Gaza utara, tempat serdadu “Israel” melanjutkan “pembersihan etnis” di daerah tersebut.

Ketika salah satu tetangga mereka mencoba mencapai sekolah untuk mencari makanan kaleng, ia ditembak langsung di kaki oleh serdadu “Israel” dan dibiarkan berdarah selama lebih dari dua jam, serdadu pun melarang siapa pun mendekatinya.

Krayem, 38 tahun, menceritakan kepada Middle East Eye perjalanan mengerikan yang dilaluinya selama beberapa kali mengungsi dan serangan tanpa henti di sepanjang jalan, yang menyebabkan dia dan seluruh anggota keluarganya terluka sebelum mereka dipaksa keluar dari Jabalia di Jalur Gaza utara.

Pada hari Senin, Krayem berada di area Rumah Sakit Yaman al-Saeed ketika sebuah quadcopter muncul dan mulai memberi tahu semua orang untuk menuju ke Jalur Gaza selatan.

“Kami berangkat sekitar pukul 2 siang dan ada sekitar 18 anak-anak bersama saya,” kenangnya. “Dalam perjalanan, kami mencoba menyeberang dari Rumah Sakit Yaman, tetapi sebuah quadcopter menyerang kami dengan bom langsung.

“Seorang pemuda melihat bom dijatuhkan dan mulai berteriak, ‘Mereka menjatuhkan bom!’ jadi kami melarikan diri, dan kemudian mereka menjatuhkan satu lagi sekitar 10 meter dari kami. Empat dari kami terluka, satu berusia sekitar 50 tahun tertembak di punggung, dan seorang anak berusia sekitar 12 tahun terkena serpihan bom di dadanya.

“Sepanjang perjalanan, quadcopter menembaki kami, dan serpihan bom ada di mana-mana.”

Gambar drone menunjukkan orang-orang yang mengungsi di Jabalia, 21 Oktober 2024 (Avichay Adraee via X/via Reuters)

Di sepanjang perjalanan, Krayem dan tetangganya menemukan titik medis di area Sekolah Abu Hussein di Jabalia. Mereka berharap dapat membawa korban yang terluka ke sana, tetapi mereka mundur setelah melihat mayat-mayat di sekitar lokasi tersebut.

“Mereka tergeletak di tanah; tim medis tidak ada di sana atau bahkan tidak dapat bergerak untuk mengevakuasi mereka,” katanya.

“Kami pergi ke flat milik seorang kerabat di tengah area Proyek Beit Lahiya dan menginap di sana. Kami tidak tidur selama sekitar tiga hari karena penembakan, ledakan, robot yang dipasangi bom, dan bau kematian di mana-mana. Pada pagi hari tanggal 22 Oktober, sekitar pukul 4:30 pagi, mereka mengebom sebuah rumah di dekat flat; dalam waktu sekitar 10 menit, mereka menjatuhkan sekitar enam bom. Sekitar setengah jam kemudian, mereka mengebom rumah tempat kami berada.”

Krayem mengatakan bahwa semua orang di flat itu terluka, termasuk dia, istrinya, saudara perempuannya, dan kerabatnya, sementara tiga tetangga – seorang wanita, putrinya, dan seorang pria tua – terbunuh. Dua flat di atas mereka hancur total, runtuh menimpa kepala para penghuninya. 

Pemukulan dan interogasi

Terluka dan berdarah, mereka meninggalkan gedung dan berlari tanpa alas kaki ke Rumah Sakit Kamal Adwan.

“Kami tiba di rumah sakit, dan tidak sampai satu jam berlalu, quadcopter datang lagi dan memutar rekaman: ‘Kalian berada di zona pertempuran yang berbahaya, dan kalian harus menuju ke area Rumah Sakit Indonesia.’ Kami pergi ke sana, dan di sepanjang jalan, ada banyak sekali serdadu,” kenang Krayem.

“Kami tidak membawa makanan, jadi setelah kami tinggal selama berjam-jam, seorang pemuda pergi ke sekolah terdekat yang menampung orang-orang yang mengungsi untuk mencari sekaleng kacang atau buncis. Mereka menembaknya langsung di kaki, dan dia terus berdarah selama dua jam dan mereka melarang kami untuk membantunya.”

Serdadu “Israel” kemudian meminta semua “yang terluka” untuk datang guna menjalani pemeriksaan keamanan. Menurut Krayem, mereka menahan sekitar 80 persen dari mereka, dan menjadikan mereka sasaran “pemukulan dan penghinaan”.

“Di antara mereka ada seorang pemuda dengan cacat mental, mereka memukulinya dan menghinanya, sambil berkata, ‘Jangan berlagak bodoh; kalian semua sama di sini,” imbuhnya.

“Ada seorang pemuda lain yang terluka di kakinya; mereka memaksanya untuk berdiri dan menembakkan dua peluru ke arahnya untuk memaksanya berdiri, padahal dia terluka.”

Krayem kemudian dibawa ke masjid terdekat, dia diinterogasi bersama puluhan pria lainnya.

“Seorang serdadu memukul punggung saya dengan gagang senjatanya dan menendang saya saat saya sudah terluka. Setelah itu, mereka menyuruh saya membawa bendera putih dan membawa sekitar 200 orang bersama saya ke daerah yang aman. Namun, tidak ada daerah yang aman di Gaza.”

‘Perjalanan yang menyiksa’

Sejak 5 Oktober, militer “Israel” telah melancarkan serangan yang menghancurkan terhadap Jalur Gaza utara, secara sistematis membombardir rumah-rumah dan blok-blok permukiman sambil memberlakukan pengepungan ketat di daerah tersebut.

Serangan ini terjadi setelah serdadu “Israel” menjatuhkan selebaran yang menyatakan “fase baru perang” dan memerintahkan penduduk untuk mengungsi dari Gaza utara dan pindah ke selatan.

Abdullah al-Muqayid tinggal di Jalur Gaza utara selama 18 hari sebelum ia dipaksa keluar oleh serdadu “Israel”.

“Itu adalah perjalanan yang menyiksa selama pengepungan yang menyesakkan. Itu seperti Hari Pembalasan. Setiap meter, ada peluru atau rudal [yang dijatuhkan kepada kami],” kata Muqayid, 38 tahun, kepada MEE.

“Saya meninggalkan kamp Jabalia menuju area Proyek Beit Lahiya sekitar seminggu setelah serangan terbaru dimulai. Saya tinggal di sana dekat Rumah Sakit Kamal Adwan, dan pada hari ke-17, serdadu mengepung rumah sakit dan mulai memerintah kami untuk bergerak menuju Rumah Sakit Indonesia melalui pos pemeriksaan yang telah mereka dirikan. Mereka memfilmkan kami dengan kamera, menggeledah kami, mempermalukan kami dan menghina kami, mengutuk dan memaki kami sepanjang waktu.”

Seperti semua penduduk laki-laki dewasa di Gaza utara, Muqayid menjadi sasaran interogasi di pusat interogasi yang didirikan oleh serdadu “Israel” di sebuah lapangan permukiman.

Ia berkata: “Mereka bertanya mengapa saya tidak mengungsi sejak dimulainya perang. Mereka berkata, ‘Kalian bergembira pada 7 Oktober; kalian semua Hamas.’ Mereka terus mempermalukan kami dan berkata, ‘Tundukkan pandangan kalian ke tanah, jangan lihat saya atau serdadu. Kalian tidak diizinkan membantu siapa pun, bahkan wanita atau anak-anak.’ Salah seorang serdadu menendang saya tiga kali dengan sepatu botnya.” 

‘Kalian tidak akan pernah kembali ke utara’

Setelah interogasi yang berlangsung hingga matahari terbenam, serdadu zionis memerintahkan penduduk untuk mengungsi ke Jalur Gaza selatan. Namun, karena enggan meninggalkan Gaza utara sepenuhnya, mereka malah pindah ke Kota Gaza yang berdekatan.

“Salah satu kalimat yang diucapkan serdadu kepada kami adalah, ‘Pergilah ke selatan; kalian tidak akan pernah kembali ke utara. Utara akan menjadi milik kami, dan kami akan membangun permukiman di sana,'” katanya.

“Kami tiba di Kota Gaza. Sepanjang jalan, ada sejumlah besar serdadu dan tank-tank sejauh mata memandang, seolah-olah mereka sedang menyerang suatu negara, bukan hanya warga sipil dan individu yang tidak bersenjata. Kami melihat mayat-mayat para syuhada tergeletak di tanah, dengan anjing-anjing yang mencabik-cabik mereka.”

Muqayid berhasil pergi ke Kota Gaza, tetapi ia harus meninggalkan ibunya yang sudah tua.

“Ia tetap tinggal di Jabalia; ia tidak bisa pergi, ia tidak bisa berjalan sejauh itu dan menghadapi penghinaan dan caci maki yang kami alami.”

Muhammed Owais, seorang warga al-Faluja di Jabalia, bercerita tentang barak militer “Israel” yang didirikan di area Menara Sheikh Zayed, tempat para pria diinterogasi dan disiksa oleh para serdadu.

“Pada tanggal 8 Oktober, dua rudal menghantam rumah kami dan quadcopter menembaki kami, memaksa kami untuk mengungsi ke area Sekolah Abu Hussein. Kami meninggalkan rumah dengan harapan untuk kembali dalam dua hari, membawa sedikit makanan dan pakaian. Namun, kami menjalani hari-hari yang sangat sulit yang dipenuhi dengan rasa lapar dan haus selama sekitar tiga minggu,” katanya.

“Pada tanggal 14 Oktober, kami menerima berita bahwa rumah kami yang berlantai lima dan rumah tetangga kami dibom dan dihancurkan. Sehari kemudian, kami menyaksikan pembantaian di Sekolah Abu Hussein, jadi kami harus mengungsi lagi ke area Kamal Adwan.”

Seperti kebanyakan warga Gaza utara yang dipaksa keluar dari rumah mereka, Owais dan keluarganya tinggal di rumah seorang kerabat di area yang berdekatan. Namun, serangan juga terus terjadi di sana.

“Kemarin, sebuah quadcopter mengumumkan bahwa mereka akan mengebom daerah tersebut dan kami harus mengungsi ke daerah Rumah Sakit Indonesia.

“Kami pergi ke sana, dan ada banyak sekali orang; mereka memisahkan para wanita dari pria, memaksa para pria masuk ke sekolah Kuwait, dan memerintahkan para wanita untuk menuju Jalan Salah al-Din, di mana ada pos pemeriksaan militer yang menunggu mereka,” katanya.

“Para serdadu membuat kami berbaris; setiap lima pria berdiri di depan kamera, dan mereka memfilmkan kami. Mereka memanggil siapa pun yang mereka inginkan, menangkap banyak orang di dalam menara. Serdadu memaksa mereka untuk menanggalkan pakaian dan mengenakan pakaian putih, mengikat tangan dan menutup mata mereka. Menjelang matahari terbenam, hari sudah sangat gelap, dan kami dipaksa berjalan menuju Syuja’iyya. Ada banyak pos pemeriksaan di sepanjang jalan, dan tank-tank mengepung kami.

“Kami berhasil tiba di sana, tetapi ada para syuhada dan orang-orang yang terluka yang tidak dapat ditolong oleh siapa pun di sepanjang jalan.” (Middle East Eye/Maha Hussaini dan Mohammed al-Hajjar) 

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Serdadu Zionis Menyerbu Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza, Menculik Pasien dan Staf
Tak Mampu Beli, Orang Tua di Gaza Memotong Bajunya Agar Bisa Dipakai Anak-anaknya »