Tak Mampu Beli, Orang Tua di Gaza Memotong Bajunya Agar Bisa Dipakai Anak-anaknya
27 October 2024, 14:30.

Pakaian dan sepatu anak-anak rusak, yang berarti mereka tidak dapat bergerak atau bermain dan tidak terlindungi dengan baik dari musim dingin yang akan datang [Abdelhakim Abu Riash/Al Jazeera]
(Al Jazeera) – Di sebuah kamp pengungsian di Gaza, Rawan Badr (34 tahun) berdiri di luar tenda, menjemur cucian di seutas tali. Wajahnya tampak lelah setiap meletakkan helai demi helai pakaian di tali jemuran.
Sejurus kemudian Badr mendongakkan wajah, melihat Massa, putrinya yang berusia 6 tahun. Meski kondisi Gaza hancur lebur, Massa tetap ceria. Ia sibuk bermain dan sering mengomentari segala hal di sekelilingnya.
Badr kembali sibuk dengan jemurannya. Tampak berjejer celana dan kemeja yang pudar, melar, bertambal, tergeletak kusut berdampingan.
Terpaksa Berbohong
Rawan Badr mengungsi sejak Oktober tahun lalu sekeluarga: Ahmad, suaminya yang berusia 38 tahun, serta anak-anaknya: Yara (11 tahun), Muhammad (8 tahun), Massa (6 tahun), dan Khaled (3 tahun).

Seorang penjahit wanita mengukur seorang gadis kecil untuk mengubah pakaiannya [Abdelhakim Abu Riash/Al Jazeera]
Ketika mengungsi, keluarga ini hanya membawa beberapa barang penting saja. Mereka mengira akan bisa segera pulang.
Ternyata dalam kurun waktu setahun ini mereka harus pindah-pindah kamp pengungsian. Badr hampir putus asa.
“Saya tinggalkan semuanya,” katanya. Tidak membawa apa-apa, sekarang pakaian anak-anaknya telah rusak karena harus dipakai terus-menerus selama berhari-hari. Cuci kering pakai, begitu seterusnya.
“Kadang-kadang, Massa bertanya tentang koleksi pakaiannya. Dia ingat setiap potongnya. Dia bertanya tentang gaun merah yang dibeli saat Idulfitri, atau tentang piyama yang disukainya. Saya tidak tahu bagaimana menjawabnya,” ujar Badr.
“Setiap hari, saya bilang kepadanya kita akan pulang ‘besok’. Saya terpaksa bohong, sebab kami tidak akan kembali.”
Sebagaimana orang tua kebanyakan, jika Badr punya uang lebih, ia mencoba membeli barang untuk anak-anaknya. Pernah suatu hari dia terpaksa membeli sepasang sepatu untuk Massa, harganya sekitar $40. Namun, setelah itu keluarganya tidak mampu membeli makanan selama seminggu.
Adapun pakaian, di Gaza pilihannya amat terbatas. Hanya ada pakaian bekas yang sudah usang dan ukurannya tidak mesti pas.

Yang tersedia untuk dijual di Gaza hanyalah pakaian bekas karena genosida dan pengepungan “Israel” telah berlangsung selama lebih dari setahun [Abdelhakim Abu Riash/Al Jazeera]
Jika keadaannya seperti itu, maka Badr harus membawanya ke penjahit di pasar. Di situ ada seorang penjahit di salah satu kios darurat yang bisa mempermak pakaian agar pas.
Jika pakaian itu robek, maka Badr sebisa mungkin memperbaikinya sendiri. Ada sejumlah jarum dan benang yang dia simpan dalam kaleng.
Berbagi Pakaian
Ada dua profesi yang saat ini amat sibuk di Gaza, yakni penjahit dan tukang sepatu. Keduanya biasa tampak di trotoar di pasar Deir el-Balah, Gaza bagian tengah.
Di pasar itu penuh dengan orang-orang yang mengungsi. Beberapa dari mereka mencari makanan yang mampu mereka beli, yang lainnya mencari kebutuhan pokok lainnya. Banyak di antara mereka yang hanya bisa melihat-lihat barang dagangan, karena tidak mempunyai uang untuk membeli apa pun.

Sebuah kios pakaian di pasar menjual tumpukan pakaian bekas [Abdelhakim Abu Riash/Al Jazeera]
Di sudut jalan, Raid Barbakh (27 tahun) mendirikan sebuah kios kecil. Ia sedang menjahit celana panjang kecil untuk anak berusia enam tahunan. Seorang pria dan wanita berdiri di depannya, menunggu untuk membawa pulang celana itu.
Barbakh sendiri tergolong muhajirin. Ia kini terdampar di Deir el-Balah dengan membawa hartanya yang paling berharga: mesin jahit.
“Saya bekerja dari pukul 7 pagi sampai pukul 7 malam. Ada begitu banyak pelanggan. Pakaian mereka selalu robek atau perlu diganti. Untuk pertama kalinya dalam 10 tahun menjadi penjahit, saya benci pekerjaan ini,” ujarnya.
Barbakh mengisahkan beberapa hari lalu datang seorang pria yang mengungsi dari Kota Gaza. Ia membawa sebuah kemeja dan memintanya untuk memotong dan mengubahnya menjadi dua kemeja kecil ukuran anak tiga tahun.

Penjahit sebagian besar bekerja untuk mengubah atau memperbaiki pakaian bekas [Abdelhakim Abu Riash/Al Jazeera]
“Pria itu rela mengorbankan salah satu dari beberapa potong pakaiannya demi membahagiakan putranya yang masih balita. Dalam keadaan tidak punya pekerjaan, ia mungkin tidak punya uang untuk membeli baju lagi dalam waktu dekat,” imbuhnya.
Setiap hari banyak orang datang untuk memperbaiki pakaian di kios Barbakh. Tidak ada pakaian baru, semuanya lama dan usang yang perlu diperbaiki atau dipermak.
Sepatu Busa
Di trotoar sebelah kios Barbakh, ada tukang sepatu bernama Said Hassan (40 tahun). Ia duduk di kotak berisi peralatan servis sepatu, sementara ada banyak sepatu berserakan di sekelilingnya yang antre untuk diperbaiki.

Sepatu-sepatu dijejerkan untuk diperbaiki di dekat seorang tukang sepatu di pasar di Deir el-Balah [Abdelhakim Abu Riash/Al Jazeera]
Hassan juga berasal dari Deir el-Balah. Selain menjahit dan memperbaiki sepatu di pasar, kadang ia berkeliling di antara kamp-kamp pengungsian.
Meski telah berpengalaman sebagai tukang sepatu, Hassan sering bingung. Kadang orang-orang membawa sepatu yang tidak dapat diperbaiki lagi. Namun, harus dilakukan bagaimanapun caranya.
“Mereka meminta saya untuk mencoba memperbaikinya dengan cara apa pun. Jadi, saya menambahkan potongan-potongan bahan untuk mencoba menutupi lubang apa pun, tetapi itu sangat tidak mudah.”
Bahkan pernah ada seorang pria yang hanya membawa beberapa potong busa. Hassan diminta agar membuatkan sepatu untuk anak-anaknya.
“Saya tidak bisa melakukan itu!” Hassan terkekeh. “Membuat sepatu tidak mudah dan butuh alat khusus. Lagi pula, sepatu busa tidak akan bertahan lama. Lihat saja jalanan di sini, hancur, bahkan bisa menghancurkan sepatu besi.”
“Saya belum pernah melihat keadaan seburuk sekarang. Orang-orang hampir putus asa karena betapa sulitnya membahagiakan anak-anak mereka,” kata Hassan. (Al Jazeera/Ruwaida Amer)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
