Perjuangan para Muslimah Palestina di Tengah Gencarnya Agresi Penjajah
23 March 2025, 13:59.

Seorang ibu Baitul Maqdis menyusuri jalanan di Jenin, Tepi Barat, 3 Maret 2025. (Nedal Eshtayah/Anadolu)
(UN) – “Apakah Anda ingin kedua anak Anda dikuburkan bersama atau dikuburkan terpisah?”
Amal teringat dirinya melihat seorang ibu di dekat rumah sakit Gaza yang ditanyai pertanyaan itu setelah kehilangan dua anaknya dalam satu serangan udara beberapa bulan lalu.
Amal bekerja untuk Women Affairs Center, sebuah organisasi masyarakat sipil di wilayah Palestina terjajah.
“Di sini, di Gaza, harapan kami terbatas. Sebelum gencatan senjata, kami hanya berharap untuk bisa syahid bersama anak-anak kami ketika saatnya tiba, dan berdoa agar tubuh kami tetap utuh tidak tercerai berai,” ungkap Amal.
“Tidak ada rumah, tidak ada air, tidak ada listrik,” lanjutnya.
Bagian terburuknya adalah ketidakpastian, tegas Hala, seorang petugas perlindungan HAM PBB.
“Tidak mungkin untuk kembali ke keadaan normal apa pun itu jika Anda tidak dapat melihat berakhirnya pembantaian,” ucap Hala.
“Hidup kami selalu jauh dari normal. Tak bisa lagi membuka keran untuk sekadar mendapat air, atau menyalakan lampu,” kata Shorouq, seorang manajer proyek di organisasi Palestina Maan Development Center.
“Ketika berita tentang berakhirnya gencatan senjata mulai menyebar, ibu-ibu di sekitar saya kembali menuliskan nama di lengan anak-anak mereka.”
Agresi militer brutal sejak Oktober 2023 telah membantai lebih dari 49.000 Ahlu Syam Gaza, menurut Kementerian Kesehatan Gaza, dan menghancurkan infrastruktur sipil termasuk rumah sakit, sekolah, lembaga pemerintahan, dan peradilan.
Seperti kebanyakan orang di Gaza, ketiga Muslimah itu mengungsi beberapa kali sejak 7 Oktober 2023 karena perintah evakuasi penjajah ‘Israel’ yang berulang dan pengeboman yang tak henti-hentinya.
Mereka kembali ke Gaza utara setelah gencatan senjata diumumkan dan mendapati rumah mereka hancur. Mereka juga masih berjuang melawan pengalaman traumatis yang mereka alami.

Dua wanita di tengah perjalanannya mengungsi dari Gaza Utara, 16 November 2024. (Olga Cherevko/OHCHR OPT)
Perjuangan Bertahan Hidup
Saat agresi genosida meletus, Shorouq yang sedang hamil enam bulan menyelamatkan diri dari Gaza utara ke Khan Younis. Beberapa minggu sebelum tanggal persalinannya, dokternya mengatakan bahwa kondisinya mengharuskan operasi caesar.
“Anestesi hampir habis, jadi kami menjadwalkan operasi sedini mungkin. Mereka masih memberi epidural, tetapi tidak memberikan obat pereda nyeri setelahnya. Saya tidak akan pernah melupakan rasa sakitnya,” ujar Shorouq.
Menurut UNFPA, ada hampir 50.000 wanita hamil di Gaza dan 130 wanita melahirkan setiap hari, yang sementara ini terpaksa hidup dengan dikelilingi oleh limbah dan air yang terkontaminasi, di tengah sistem perawatan kesehatan yang rusak parah.
Tidak sampai sehari setelah kelahiran putrinya, Salma, yang dalam bahasa Arab berarti “aman”, Shorouq sudah harus menyelamatkan diri lebih jauh lagi ke selatan sembari menahan sayatan caesar, tanpa obat penghilang rasa sakit, dan dengan menggendong bayi yang baru lahir.
Rumah sakit tempatnya bersalin menjadi sasaran perintah evakuasi, dan serangan udara terus menghantam kawasan sekitar tempat penampungan sementara yang ia tinggali.
Mereka berakhir di tenda pengungsian selama berbulan-bulan.
“Salma berhenti menyusu saat berusia tiga bulan karena saya terlalu kekurangan gizi,” ungkapnya. “Setiap pagi, saya menitipkannya kepada Allah sebelum saya meninggalkan tenda untuk bekerja. Setiap pagi, saya pergi tanpa tahu apakah saya akan bisa melihatnya lagi.”
Sekarang setelah kembali ke Gaza utara, Salma yang berusia 14 bulan terus-menerus ketakutan ketika mendengar suara keras.

Suasana kamp pengungsian selama musim dingin di Kota Gaza, 2 Januari 2024. (Media Clinic)
Keadaan Muslimah di Tepi Barat
Di Tepi Barat terjajah, perempuan Palestina menghadapi tantangan unik mereka sendiri. Berdasarkan pemantauan Hak Asasi Manusia PBB, sejak 7 Oktober 2023, kekerasan oleh pasukan keamanan ‘Israel’ meningkat ke tingkat yang belum pernah terlihat selama beberapa dekade.
Satu komunitas utuh dipaksa mengungsi karena operasi militer yang intens, meningkatnya penghancuran rumah dan kekerasan oleh pemukim ilegal Yahudi.
Serangan penjajah ‘Israel’ terhadap warga Baitul Maqdis di Tepi Barat telah menjadi rutinitas; termasuk melalui peningkatan serangan udara maupun senjata berat lainnya, yang dilarang keras hukum internasional.
Selain itu, kelompok-kelompok hak asasi melaporkan peningkatan kekerasan terhadap perempuan Baitul Maqdis melalui pengawasan, penahanan sewenang-wenang, dan perlakuan buruk aparat penjajah zionis.
Menurut UNFPA, terdapat 73.000 wanita hamil di Tepi Barat. Banyak di antaranya menghadapi risiko kesehatan kritis akibat pembatasan pergerakan dan penutupan pos pemeriksaan, yang sangat membatasi akses ke perawatan antenatal, postnatal, dan persalinan.
Pada bulan Februari 2025, Sondos Shalabi yang sedang hamil delapan bulan tewas ditembak saat menyelamatkan diri bersama suaminya dari kamp pengungsian Nur Shams.

Serdadu ‘Israel’ merusak jalan dengan alat berat dan menghancurkan infrastruktur maupun rumah-rumah warga Baitul Maqdis di Jenin, Tepi Barat, pada tanggal 3 Maret 2025. (Nedal Eshtayah/Anadolu)
Saling Mendukung
Meskipun terus-menerus merasa menjadi sasaran dan korban paling utama, para perempuan di wilayah Palestina terjajah menemukan cara untuk saling mendukung dan menopang komunitas mereka.
“Kami menyediakan layanan pada komunitas yang mengungsi, meski kami juga sedang mengungsi. Mereka memiliki kebutuhan, begitupun kami,” kata Amal.
“Hari ketika saya membuka cabang organisasi ini di Rafah, adalah hari yang sama ketika saya menerima berita bahwa saudara laki-laki saya meninggal karena ia tidak dapat mencapai rumah sakit untuk menjalani dialisis.”
“Rasa sakit menyelimuti kami semua dan tidak ada yang luput darinya. Namun, Anda tidak dapat berdiam diri dan tidak melakukan apa pun. Saya bangga dengan pekerjaan yang telah kami lakukan dan layanan yang telah kami berikan saat rudal-rudal beterbangan di atas kepala kami.” (UN)

Tulisan “Gaza, kami akan membangunnya kembali” terlihat melalui jendela yang pecah di Kota Gaza. (Olga Cherevko/OHCHR OPT)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.

 
                         
                         
                         
                         
                        