Sejarah Singkat Pembersihan Etnis Palestina oleh “Israel” Sejak 1968–1993

6 April 2025, 14:06.

Oleh: Zachary Foster, Sejarawan Palestina

(Palestine Nexus) – “Israel” memulai upaya mengusir warga Palestina dari rumah mereka di wilayah Palestina terjajah sejak tahun 1968. “Israel” mengusir puluhan ribu warga Palestina dari Jalur Gaza antara tahun 1968 hingga 1970, lalu secara paksa mengusir 38.000 pengungsi Palestina lainnya di Gaza pada tahun 1971, dan mencoba memaksa sisanya untuk melepaskan status pengungsi mereka atau meninggalkan kamp-kamp pengungsian sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an.

Selain itu, selama periode yang sedang dibahas ini, “Israel” mendeportasi ribuan warga Palestina dan menggunakan registrasi penduduk sebagai senjata untuk mencegah ratusan ribu warga Palestina yang telah meninggalkan Gaza atau Tepi Barat untuk kembali.

Dengan segala cara, “Israel” berusaha mengusir warga Palestina dari Palestina. Berikut ini sejarah singkat pembersihan etnis yang dilakukan “Israel” terhadap warga Palestina sejak tahun 1968 hingga 1993.

Depopulasi melalui Insentif

Setelah Perang Juni 1967, para pemimpin “Israel” bertemu untuk menentukan nasib warga Palestina di wilayah penjajahan. Mereka memutuskan untuk menerapkan Rencana Allon, yang menyerukan “pemukiman kembali” 350.000 pengungsi Gaza di Sinai utara dan Tepi Barat.

Bagi sebagian besar pemimpin “Israel”, pertanyaannya bukan apakah mereka harus tetap tinggal atau pergi, melainkan bagaimana cara mengusir mereka dan seberapa besar kekuatan yang harus digunakan dalam proses tersebut.

Pada tahun 1968, rencana “Israel” berfokus pada pemberian insentif bagi warga Palestina, terutama para pengungsi, untuk meninggalkan Gaza menuju Tepi Barat atau Yordania. “Israel” memusatkan perhatian pada Gaza karena sekitar 60% penduduknya pada saat itu adalah pengungsi, dibandingkan dengan hanya 10% di Tepi Barat, dan “Israel” sangat terobsesi dengan para pengungsi.

Ingat, hanya dua dekade sebelumnya, “Israel” telah merampas mata pencaharian mereka, menyita properti mereka, menanam ranjau darat di sekitar Gaza untuk mencegah mereka kembali ke rumah, dan menembak mati ribuan orang yang tetap nekat mencoba kembali.

Banyak yang terpisah dari keluarga mereka dan dipaksa hidup dalam kondisi yang mengenaskan tanpa hak politik, kebebasan bergerak, atau peluang ekonomi. Tidak mengherankan jika mereka ingin kembali ke rumah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika “Israel” melihat keberadaan mereka di perbatasannya sebagai ancaman eksistensial terhadap dominasi Yahudi.

Selama sekitar satu tahun, rencana depopulasi “Israel” berhasil. Ribuan warga Palestina meninggalkan Gaza setiap bulan melalui agen rahasia pemukiman kembali yang dikelola pemerintah “Israel” pada tahun 1968. Agen-agen “Israel” merekrut kolaborator Palestina yang berkeliling kamp-kamp pengungsi di Gaza, menjanjikan uang dan paspor asing untuk mereka yang bersedia meninggalkan Jalur Gaza secara permanen.

Pada bulan Juni, sekitar 20.000 orang mengungsi dan di akhir tahun “Israel” berhasil mengusir sekitar 32.300 warga Palestina Gaza. Sebagian besar dari mereka dipindahkan ke Tepi Barat atau Yordania dan diharuskan menandatangani formulir yang menyatakan kepergian mereka bersifat sukarela dan mereka tidak diizinkan untuk kembali.

Tidak ada yang lebih mencerminkan kepergian sukarela daripada pernyataan pengasingan permanen yang dipaksakan.

Tujuan “Israel” adalah mengirim mereka ke Yordania, meskipun akhirnya mereka harus puas dengan Tepi Barat karena pertimbangan kelayakan. Lebih mudah memindahkan warga Palestina ke daerah dekat perbatasan dengan Yordania daripada memaksa mereka melintasinya.

Oleh karena itu, di akhir 1967, “Israel” mulai menawarkan pekerjaan konstruksi kepada warga Palestina Gaza di dekat Yerikho di Lembah Yordan, hanya beberapa mil dari perbatasan Jembatan Allenby. “Mereka akan lebih mudah pergi ke timur,” jelas Zvi Zur, penasihat senior Menteri Perang “Israel” saat itu, Moshe Dayan, pada Oktober 1967.

Namun, di akhir tahun 1968, Yordania melarang masuknya pengungsi dari Gaza, dan arus pengungsian pun menurun drastis. “Israel” harus mencari destinasi baru.

Pada tahun 1969, “Israel” menandatangani perjanjian rahasia dengan diktator Paraguay, Alfredo Stroessner, untuk “memukimkan kembali” 60.000 warga Palestina Gaza di Paraguay. Stroessner terkenal karena menjadikan negaranya sebagai tempat berlindung yang aman bagi para penjahat perang Nazi, menempatkannya dalam daftar panjang autokrat dan simpatisan Nazi yang memiliki hubungan dekat dengan “Israel”.

Agen “Israel” menjanjikan tanah pertanian, properti, atau bantuan dalam mendapatkan paspor dan pekerjaan baru kepada para pengungsi Palestina di Paraguay, janji-janji yang sering tidak ditepati, meskipun ada protes dari warga Palestina di Kedutaan Besar “Israel” di Paraguay. Hal ini memuncak dengan pembunuhan Sekretaris Duta Besar “Israel” oleh seorang warga Palestina di Paraguay pada tahun 1970, yang mengakhiri upaya “Israel” untuk memindahkan warga Palestina ke luar negeri.

“Israel” mengupayakan perjanjian serupa dengan Brasil, Libya, Kanada, dan Australia, tetapi hanya berhasil memaksa beberapa ratus keluarga pengungsi Palestina di Gaza untuk menerima tiket sekali jalan keluar dari negara tersebut.

Pada Agustus 1969, Perdana Menteri “Israel” Golda Meir menyadari rencana ini pasti akan gagal. Menurutnya, siapa pun yang percaya bahwa semua pengungsi Palestina akan “mengemas barang-barang mereka dan pergi dalam iring-iringan” adalah “orang yang delusional”. Bagi Meir, warga Palestina tidak akan meninggalkan Gaza secara sukarela dalam jumlah besar, tetapi mereka masih bisa diusir dengan paksa.

Depopulasi melalui Insentif dan Kekerasan

Oleh karena itu, pada tahun 1970, rencana depopulasi “Israel” pun beralih dari insentif ke kekerasan. Pada musim panas 1971, militer “Israel” yang dipimpin oleh Ariel Sharon melancarkan operasi militer untuk “mengurangi” populasi pengungsi Palestina di Jalur Gaza, membunuh ratusan orang, dan mendeportasi 12.000 kerabat tersangka pejuang Palestina, sebagian besar ke Sinai utara.

Selain itu, pasukan “Israel” juga mengusir hampir 16.000 warga Palestina lainnya di kamp pengungsi Jabalia, Shati, Nuseirat, dan Maghazi. Dari mereka yang diusir, 2.150 keluarga dipaksa mengungsi ke El-Arish, Mesir, sedangkan sebagian kecil lainnya dikirim ke Tepi Barat.

Pengusiran ini disertai dengan penghancuran massal rumah-rumah untuk mencegah mereka kembali. Pasukan “Israel” menghancurkan tempat tinggal sekitar 2.400 keluarga dengan dalih melebarkan jalan dan gang untuk membangun sekitar 200 mil jalan patroli.

Dalam prosesnya, “Israel” juga menggerebek rumah-rumah, melakukan penangkapan massal, dan memberlakukan jam malam yang panjang. Pria-pria Palestina dikumpulkan dan dipaksa berdiri dengan air setinggi pinggang di Laut Mediterania selama berjam-jam. Sebagian pengungsi melarikan diri ke Mesir atau Tepi Barat, sedangkan sebagian besar lainnya mencari tempat tinggal darurat di Gaza.

Secara keseluruhan, sekitar 38.000 pengungsi Palestina terusir dan mengungsi pada tahun 1971.

Duta Besar “Israel” untuk AS saat itu, Yitzhak Rabin, mengonfirmasikan tujuan operasi ini adalah menghilangkan pengungsi Palestina di Gaza melalui “perpindahan populasi secara alami ke Tepi Timur. […] Masalah pengungsi Jalur Gaza seharusnya tidak diselesaikan di Gaza atau El-Arish [Sinai], melainkan di Tepi Timur,” yang ia maksud adalah Yordania.

Seperti biasa, “Israel” membenarkan pengusiran ini sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi penduduk setempat. “Tujuannya, memindahkan ribuan orang yang merasa Jalur Gaza terlalu sempit dan terlalu miskin,” kata administrator militer Wilayah Penjajahan Shlomo Gazit pada tahun 1971. Bahkan Kolonel Shmuel Liran menyatakan “Israel” membawa “sedikit cahaya dan ruang ke kamp-kamp pengungsi,” yang ditulis oleh The Washington Post sebagai “Israel Mulai Memukimkan Kembali Warga Arab Gaza ke Rumah yang Lebih Baik.”

“Israel” menampilkan dirinya sebagai pihak dermawan yang mengurangi kepadatan penduduk dan memperbaiki kondisi perumahan bagi warga Palestina. Namun, kenyataannya, penghancuran tempat tinggal oleh “Israel” ini justru menyebabkan kepadatan yang lebih parah di kamp-kamp pengungsi Gaza.

Selain mengusir pengungsi Gaza, “Israel” juga berusaha menghapus keberadaan mereka sebagai pengungsi. “Kami berharap dalam beberapa tahun, mereka […] tidak lagi menganggap diri mereka sebagai pengungsi,” kata Menteri Perang “Israel” saat itu, Moshe Dayan, pada tahun 1971.

Dengan demikian, kamp pengungsi Palestina dan kartu identitas pengungsi UNRWA pun menjadi sasaran. “Israel” menawarkan subsidi, hibah, bahkan pekerjaan kepada pengungsi Palestina di Gaza pada tahun 1970-an jika mereka mau menyerahkan kartu identitas pengungsi UNRWA mereka. Dengan demikian, melepaskan hak mereka untuk kembali. “Israel” juga mencoba mengintegrasikan geografi fisik kamp-kamp pengungsi Palestina di Gaza dan Tepi Barat ke kota-kota tetangga mereka.

Namun, seperti yang kemudian disadari “Israel”, hanya sedikit warga Palestina yang mau menyerahkan kartu identitas pengungsi mereka, hanya sedikit yang mengaitkan hak kembali dengan geografi fisik Jalur Gaza, dan hanya sedikit pemimpin Palestina di Gaza yang mau bekerja sama dengan rencana “Israel”, yang sebagian besar berakhir dengan kegagalan.

Pada tahun 1972, sekelompok tetua Palestina di Rafah memberi tahu otoritas militer “Israel”: “Atas nama semua pengungsi, kami, para mukhtar, tidak dapat setuju untuk membeli atau menyewa rumah-rumah [baru yang dibangun Israel di luar kamp-kamp] karena kami masih pengungsi, dan kami puas dengan tempat perlindungan yang telah diberikan UNRWA.”

Proyek “penipisan” kamp pengungsi semakin intensif pada tahun 1970-an dan 1980-an. Ribuan warga Palestina dari kamp Jabalia, Rafah dan Khan Yunis “dipindahkan” ke dua proyek perumahan baru bernama “Brasil” dan “Kanada” pada tahun 1972–1973, sedangkan fase ketiga pemindahan paksa terjadi pada tahun 1975–1976.

Kemudian, di akhir tahun 1970-an dan 1980-an, “Israel” memaksa puluhan ribu orang lainnya meninggalkan kamp-kamp tersebut. Menurut UNRWA, sejak tahun 1967–1989, sekitar 27.590 warga Palestina di Gaza meninggalkan kamp pengungsian untuk pindah ke proyek perumahan di luar kamp.

Mereka diharuskan menghancurkan bangunan atau tempat tinggal lama mereka di dalam kamp pengungsian untuk mendapatkan perumahan di luar kamp-kamp tersebut. Setelah mereka pergi, “Israel” mengambil alih tempat tinggal yang telah dihancurkan sebagai milik negara, dan mengubah sebagian menjadi pos militer.  

Pada tahun 1980-an, pejabat “Israel” menyadari tingkat kelahiran di kamp-kamp pengungsi lebih tinggi dibandingkan jumlah yang mereka usir. Karena depopulasi massal hanyalah fantasi, alih-alih menawarkan insentif untuk pergi, “Israel” memberlakukan sanksi ketat bagi warga Palestina yang tetap tinggal.

Oleh karena itu, pada tahun 1982 “Israel” memberlakukan larangan untuk menjual, membeli, menyewakan, menggadaikan, memindahkan, memperluas, atau memperbaiki tempat tinggal pengungsi yang sudah ada. Tujuannya adalah regulasi ketat yang mencegah warga Palestina untuk memperbaiki kondisi tempat tinggal akan mendorong pengungsi pergi.

Secara keseluruhan, antara tahun 1967 dan 1989, tentara “Israel” telah menghancurkan setidaknya 22.230 unit tempat tinggal dan mengusir 63.000 orang dari kamp-kamp pengungsi Palestina. Meskipun “Israel” berusaha sekeras mungkin untuk menghapus kamp-kamp pengungsi Palestina dari peta, kamp-kamp tersebut terus berkembang, begitu pula dengan perlawanan terhadap penjajahan militer “Israel”.

Namun, seperti biasa, pengusiran paksa dibenarkan atas nama keamanan. Operasi pengusiran besar-besaran terakhir “Israel” pada periode ini terjadi pada tahun 1982–1983, ketika “Israel” mengusir ribuan warga Palestina yang tinggal di sepanjang perbatasan Gaza-Mesir. Kali ini, alasan penggusuran adalah untuk membangun zona keamanan selebar 50 meter di daerah perbatasan.

Tentara “Israel” menggusur rumah-rumah dan kebun-kebun di Rafah, serta menghancurkan banyak rumah di kamp pengungsi Shati dan Deir al-Balah, yang memaksa ribuan orang mengungsi.

Depopulasi melalui Deportasi

“Israel” mendeportasi sekitar 2.000 warga Palestina dari wilayah penjajahan selama periode yang dibahas. Ini termasuk sekitar 1.180 warga Palestina antara tahun 1967–1977 dan ratusan lainnya antara tahun 1985–1993. Berikut ini perincian dari tahun ke tahun:

Laporan B’tselem, 1993.

Bagi “Israel”, siapa pun yang menentang dominasi “Israel” menjadi target deportasi, termasuk berbagai bentuk perlawanan damai dan tanpa kekerasan. “Israel” mendeportasi aktivis politik yang diduga memiliki hubungan dengan Yordania atau menentang penjajahan “Israel”. “Israel” mendeportasi kepala sekolah dan pengawas sekolah yang memprotes sensor terhadap buku pelajaran, guru dan murid yang melakukan aksi mogok sekolah, pengacara yang mengorganisir aksi mogok pengacara, dan bahkan wali kota atas tindakan yang dilakukan warganya.

Pada bulan Mei 1980, misalnya, “Israel” mendeportasi tiga pemimpin Palestina pro-PLO di Tepi Barat; Wali Kota Al-Khalil (Hebron) Fahd Qawasmeh, pemimpin agama Rajab Tamimi, dan Wali Kota Halhoul Muhammad Milhem, setelah pejuang Palestina yang tidak dikenal menembak mati enam orang Yahudi di Al-Khalil (Hebron). Kebijakan ini bisa digambarkan sebagai: deportasi karena kedekatannya dengan perlawanan bersenjata yang dianggap ilegal oleh “Israel”.

Sebagai bagian dari kebijakan “Tangan Besi” yang diadopsi oleh Menteri Perang “Israel” Yitzhak Rabin, “Israel” mengusir 82 warga Palestina lainnya antara tahun 1985–1989, sebagian besar ke Yordania. Pejabat “Israel” mengatakan kepada beberapa orang yang dideportasi bahwa karena kartu identitas mereka kedaluwarsa saat mereka berada di penjara, mereka kehilangan hak tinggal di wilayah Palestina Terjajah, termasuk dua anggota serikat buruh, seorang jurnalis, dan mantan anggota Dewan Kota al-Bireh.

Kebijakan ini bisa digambarkan sebagai: deportasi karena gagal keluar dari penjara untuk memperbarui izin tinggal sebagai orang tanpa kewarganegaraan di wilayah penjajahan.

Namun, bagi kalangan sayap kanan “Israel”, deportasi yang dilakukan dianggap masih kurang. Geula Cohen, pemimpin Partai Tehiya, menyesalkan hal itu karena yang dideportasi hanya puluhan aktivis Palestina, bukan ratusan. Rabi dan akademisi Shubert Spero menyerukan lebih banyak deportasi pada Januari 1989: “Siapa pun yang terbukti melempar batu atau bom molotov harus dideportasi, tanpa memandang usia atau seberapa berhasil aksinya.”

Kemudian, pada Desember 1992, setelah serangan terhadap pasukan keamanan “Israel”, pemerintah Rabin mendeportasi 415 orang Palestina yang diduga anggota Hamas dan Jihad Islam ke Lebanon Selatan selama 1–2 tahun, yang merupakan deportasi massal terbesar dalam dua dekade.

Penjajah “Israel” sendiri mengakui setidaknya 16 orang yang dideportasi tidak memiliki hubungan dengan kedua kelompok itu. Sebanyak 415 warga Palestina itu dideportasi sebagai bentuk hukuman kolektif karena tidak ada bukti yang menghubungkan individu tertentu dengan serangan tersebut.

Bahkan jika mereka semua terbukti bersalah atas kejahatan berat di pengadilan yang adil, deportasi tetap ilegal menurut hukum internasional karena mendeportasi orang yang tinggal di wilayah penjajahan dalam perang merupakan pelanggaran hukum internasional.

Depopulasi melalui Penolakan atau Pencabutan Izin Tinggal

“Israel” juga mencegah warga Palestina kembali ke Palestina dengan cara menolak dan mencabut izin tinggal mereka. “Israel” menurunkan persetujuan permohonan reunifikasi keluarga Palestina dari 33% di akhir 1960-an dan awal 1970-an menjadi kurang dari 10% di pertengahan 1970-an hingga 1980-an, dan akhirnya kurang dari 1% di pertengahan hingga akhir 1980-an, yang mencegah ratusan ribu orang tua dan anak Palestina di Tepi Barat dan Gaza untuk tinggal bersama di Palestina.

Kebijakan “Israel” ini bisa digambarkan sebagai depopulasi dengan memaksa warga Palestina memilih antara keluarga atau tanah air mereka.

“Israel” juga secara diam-diam mencabut hak tinggal lebih dari 100.000 warga Palestina di Gaza dan 140.000 di Tepi Barat antara tahun 1967–1994. Warga Palestina di Tepi Barat yang bepergian ke luar negeri diharuskan meninggalkan kartu identitas mereka di perbatasan untuk mendapatkan izin keluar selama tiga tahun yang dapat diperpanjang tiga kali (masing-masing selama satu tahun).

Namun, jika mereka tidak kembali ke perbatasan dalam waktu enam bulan setelah izin mereka habis, hak tinggal mereka otomatis dicabut tanpa pemberitahuan sebelumnya. Metode ini bisa disebut sebagai pengusiran melalui dekret administratif.

“Israel” juga melakukan pembersihan etnis terhadap sekitar 3.000 warga Palestina dari Yerusalem (Baitul Maqdis) antara tahun 1967–1994. Segera setelah menjajah Yerusalem pada Perang Juni 1967, “Israel” menganeksasi sekitar 70 km² wilayah Tepi Barat ke dalam Yerusalem, tetapi tidak memberikan kewarganegaraan kepada warga Palestina yang tinggal di wilayah tersebut.

Ini adalah contoh nyata bahwa “Israel” menginginkan “tanahnya, tetapi tanpa orang-orang yang tinggal di atasnya”. Mereka yang tinggal di wilayah yang dianeksasi “Israel” hanya diberi status penduduk tetap yang dapat dicabut jika mereka tinggal di luar Yerusalem. Status ini juga tidak secara otomatis diwariskan kepada anak atau pasangan yang bukan penduduk tetap, dan bisa dicabut kapan saja atas kebijakan Kementerian Dalam Negeri “Israel”. Menurut Human Rights Watch (HRW), kebijakan ini merupakan bentuk “pemindahan paksa” yang melanggar hukum internasional.

Pada tahun 1980-an, banyak suara di “Israel” kembali menyerukan “pemindahan paksa” warga Palestina di Wilayah Terjajah ke Yordania atau pembentukan “tanah air alternatif” bagi mereka di sana.

Ketika Meir Kahane, tokoh fasis Amerika-“Israel”, menyerukan pengusiran semua warga Palestina dari “Tanah Israel”, para pendukungnya menyebutnya ekstrem. Namun, dalam beberapa tahun, banyak tokoh terkemuka yang mendukung gagasan ini: mantan Menteri Yosef Shapira, mantan Wakil Menteri Perang Michael Dakel, mantan Menteri Perang Ariel Sharon, partai Tehiya, Gush Emunim, mayoritas pemukim ilegal Yahudi, dan lebih dari 30% populasi “Israel” tidak menolak gagasan “pemindahan” ini.

Kebijakan depopulasi “Israel” berubah selama bertahun-tahun, mulai dari insentif hingga kekerasan, dan deportasi hingga dekret administratif yang berubah-ubah dan sewenang-wenang. Dalam banyak kasus, seperti bermitra dengan Paraguay, atau agen pemukiman kembali di Jalur Gaza, atau mencabut hak tinggal bagi warga Palestina yang bepergian ke luar negeri, “Israel” selalu berusaha merahasiakan rencananya demi “melakukan Zionisme secara diam-diam.” Meski metode dan tingkat kekerasannya berubah, logika yang mendasari Zionisme tidak berubah: Palestina tanpa warga Palestina. (Palestine Nexus)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Lini Masa “Israel” Gunakan Bantuan ke Gaza sebagai Senjata Perang
Masa Kanak-Kanak yang Direnggut di Gaza »