“Kondisi yang Lebih Baik dan Investasi Infrastruktur Bakal Membuka Jalan Jutaan Muhajirin Suriah Balik Kampung” 

19 May 2025, 20:04.

SURIAH (BBC | NRC) – Tiga belas tahun setelah kekerasan rezim diktator yang berkepanjangan memaksanya pergi, Fatima Hazzouri kini kembali ke kota asalnya di Homs, Suriah. Ia adalah salah satu dari tujuh juta warga Suriah yang mengungsi di negara mereka sendiri akibat kebengisan rezim Bashar al-Assad.  

Kekerasan itu dimulai pada tahun 2011 dan akhirnya berakhir dengan kemenangan para pejuang pada bulan Desember 2024. Enam juta orang lainnya mengungsi ke luar negeri pada tahun-tahun tersebut. Secara total, lebih dari separuh populasi terpaksa meninggalkan rumah mereka. 

Memulangkan mereka mungkin merupakan tantangan terbesar yang dihadapi “Suriah baru” saat ini – karena banyak yang tidak lagi memiliki rumah untuk kembali.  

Namun, sekarang setelah upaya Presiden Ahmed al-Sharaa untuk meyakinkan dunia guna mencabut sanksi terhadap Suriah mulai membuahkan hasil, termasuk yang baru saja dinyatakan oleh AS, muncul harapan baru bahwa negara yang hancur itu dapat dibangun kembali. 

Fatima Hazzouri telah kembali ke Homs setelah 13 tahun. (Rolf Andreason/BBC) 

“Saya sangat gembira bisa kembali,” ucap Fatima. Ia menjerit kegirangan. Sebanyak 124 keluarga yang kembali dalam konvoi tersebut berasal dari wilayah Suriah utara, tempat jutaan orang pengungsi internal tinggal di tenda-tenda dan tempat penampungan sementara.  

Meski telah berada di jalan selama delapan jam yang melelahkan, itu masih menjadi kepulangan yang tidak mudah. 

Homs, kota terbesar ketiga di Suriah, menjadi saksi beberapa pertempuran paling sengit dalam perang tersebut. Seluruh distrik masih hancur.  

Pada tahun 2012, dua roket yang ditembakkan oleh serdadu rezim diktator menghantam rumah Fatima, menghancurkan sebagian besarnya. 

Fatima berdesak-desakan untuk mendapatkan makanan dan pakaian gratis yang disediakan oleh badan amal swasta Waqf al-Farah yang berbasis di Dubai, yang juga menyelenggarakan konvoi kepulangan tersebut.  

Kemudian dia menuju ke flat yang disewa keluarganya sampai mereka dapat memperbaiki rumah lama mereka. Menantunya, Abdulrazaq, telah pergi lebih dulu membawa barang-barang keluarganya sebelum konvoi menyusul. 

Di rumah keluarga Fatima, hanya ada dua kamar yang layak huni. Ia mengatakan, membangun atap baru dan memasang ubin lantai akan menelan biaya ribuan dolar (belasan juta rupiah). (Rolf Andreason/BBC) 

Ketika masih di utara, Fatima sesekali bekerja memetik anggur atau zaitun, sedangkan Abdulrazaq adalah seorang guru. Namun, kini ia tidak tahu apakah ia bisa mendapat pekerjaan di Homs untuk membantu membayar sewa flat.

“Saya tidak tahu seperti apa masa depan kami,” katanya, “kami akan menunggu keputusan pemerintah baru.” 

“Masalah terbesar yang kami hadapi adalah kurangnya pekerjaan,” kata Khalifa al-Hakmi, yang membantu mengatur konvoi, “orang-orang tidak punya pekerjaan saat mereka kembali.”

Menyediakan pekerjaan hanyalah sebagian dari tugas besar yang dihadapi oleh pemerintahan baru Suriah, yang dipimpin oleh pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS), untuk membangun kembali negara itu.

Tiga juta rumah hancur. Layanan penting tidak tersedia di banyak tempat. Homs, seperti sebagian besar wilayah Suriah lain, hanya memperoleh pasokan listrik beberapa jam sehari. 

Sejauh ini, baik pemerintah maupun lembaga internasional belum mengajukan rencana komprehensif untuk memukimkan kembali para muhajirin yang mengungsi.  

Namun, berakhirnya sanksi internasional yang melumpuhkan akibat tirani rezim Assad, membuat negara itu dapat kembali menjadi bagian dari sistem perbankan internasional – dan ekonomi dapat mulai bangkit kembali.

Tukang kayu Yasir al-Nagdali telah mengganti jendela dan langit-langit di rumah yang ia tinggali bersama ibu dan burung peliharaannya. (Rolf Andreason/BBC) 

Di antara muhajirin yang kembali adalah Ammar Azzouz. Ia belajar menjadi arsitek di Homs dan sekarang menjadi peneliti di Universitas Oxford di Inggris. Ia diliputi emosi setelah dapat kembali ke kota asalnya untuk pertama kali sejak 2011. 

“Saya sangat merindukan hari ini ketika saya dapat berjalan di jalan-jalan, menyentuh batu-batu, bertemu orang-orang, melihat wajah mereka, yang masih berusaha memahami besarnya skala kehilangan dan kesedihan,” katanya. 

Namun, seperti banyak warga Suriah lainnya yang telah berhasil memulai hidup baru di luar negeri, ia berencana untuk membagi waktunya antara negara asalnya dan negara tempat tinggalnya, daripada kembali secara permanen.

“Banyak orang menggambarkannya sebagai masa bulan madu,” ucap Ammar, berbicara tentang bulan-bulan pertama setelah jatuhnya Assad.

“Ada energi dan kegembiraan serta harapan dan optimisme baru. Pada saat yang sama, kenyataannya memang pahit. Namun, saya pikir membangun jembatan antara mereka yang berada di luar dan di dalam akan menjadi hal yang menarik karena hal itu akan mendatangkan keterampilan, peluang, jaringan, dan pengetahuan baru yang sangat kita butuhkan.”

Bagi banyak muhajirin Suriah yang kembali ke Homs, memperbaiki rumah mereka menjadi salah satu tantangan besar mereka. (Rolf Andreason/BBC)

Sementara itu, penelitian terbaru Norwegian Refugee Council (NRC) di Suriah telah mengidentifikasi serangkaian tantangan besar yang dihadapi para muhajirin yang kembali: kehancuran yang meluas, ketidakamanan, kurangnya layanan dan pekerjaan, pendidikan yang tidak memadai, dan kurangnya dokumen kepemilikan di antara berbagai tantangan hukum lainnya. 

“Saat ini, banyak yang kembali dan mendapati rumah mereka hancur atau hampir tidak layak huni, tidak ada sekolah, atau layanan dasar lainnya. Jika kondisi ini tidak membaik, warga Suriah akan menghadapi lebih banyak ketegangan yang dapat mengganggu stabilitas komunitas mereka dan merusak peluang pemulihan jangka panjang,” sebut Julie Phipps, Direktur NRC untuk Suriah.

Abu Fahd, seorang ayah empat anak, yang hijrah dari pedesaan Damaskus pada tahun 2018, pulang kembali awal tahun ini dan mendapati rumahnya hancur. Ia berusaha memperbaikinya sebelum keluarganya kembali untuk bergabung dengannya. (Shadi Mohissen/NRC)

Menurut angka PBB, sekira 1,5 juta muhajirin Suriah, baik yang mengungsi di dalam maupun luar negeri, telah kembali ke rumah mereka sejak digulingkannya rezim diktator Assad pada bulan Desember tahun lalu, meskipun tidak jelas berapa banyak dari mereka yang benar-benar memutuskan untuk tetap tinggal.

Dalam satu survei yang melibatkan lebih dari 100 muhajirin yang kembali, hampir setengah responden mengatakan rumah mereka hancur atau tidak dapat dihuni, sedangkan 40 persen mengatakan mereka tidak memiliki rumah atau dokumen bukti kepemilikan.

Situasinya jauh lebih buruk di daerah-daerah seperti pedesaan Damaskus, kekerasan rezim mengubah sebagian besar wilayah menjadi puing-puing. Hingga 70 persen responden dari wilayah itu mengatakan rumah mereka benar-benar sudah hancur.

Di Idlib, satu orang mengatakan kepada NRC bahwa orang-orang pulang ke rumah mereka, hanya untuk terkejut, lalu kembali ke pengungsian.

NRC juga menerima laporan tentang seorang wanita yang meninggal ketika langit-langit yang rusak runtuh menimpanya saat dia membersihkan puing-puing di rumahnya.

Para muhajirin mengungkapkan, tidak dapat ditemukannya dokter di daerah itu, serta sisa persenjataan yang tersebar dan bisa meledak kapan saja juga disebutkan sebagai masalah utama.

Sebagian besar yang disurvei di kota-kota yang bersiap menerima lebih banyak kembalinya muhajirin, di antaranya Aleppo, Damaskus, Homs dan Daraa, melaporkan akses terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali ke layanan dasar.

Misalnya, satu keluarga memberi tahu NRC bahwa mereka pindah kembali ke Idlib setelah berupaya pulang ke rumah karena kekurangan listrik. Akses terhadap air pun sama terbatasnya.

Selain kerusakan besar yang terjadi selama tahun-tahun kekerasan, serangan dan pendudukan ‘Israel’ di selatan dapat membuat ratusan ribu warga Suriah kehilangan air bersih sepanjang musim panas ini.

“Saya kembali sendiri ke Harasta (pinggiran Damaskus) pada awal tahun 2025, sedangkan keluarga saya tinggal di Aleppo. Saya sedang memperbaiki sebagian rumah kami agar layak huni bagi keluarga saya saat mereka kembali.”

“Kebutuhan di sini sangat banyak. Ketidakmampuan untuk membangun kembali rumah dan kota yang hancur sepenuhnya, serta kekurangan air dan listrik, menimbulkan tantangan yang signifikan. Sekolah-sekolah penuh sesak dan kesulitan menampung banyak orang, termasuk para muhajirin yang kembali,” kata Abu Fahd, seorang ayah empat anak. (BBC | NRC)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Hamas Serukan Mobilisasi Global untuk Menghentikan Agresi Genosida
Pemerintah India Kembali Usir Muhajirin Rohingya, Diturunkan Paksa di Sekitar Laut Andaman »