BROUK: “Militer Burma Jadikan Kelaparan sebagai Senjata Genosida Musnahkan Warga Rohingya di Arakan”

15 June 2025, 22:09.

MYANMAR (Relief Web) – Warga Muslim minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine/Arakan sengaja dibiarkan mati kelaparan akibat kebijakan genosida yang diberlakukan militer Myanmar, yang diperinci dalam laporan ‘Starving to death: the latest phase of the Rohingya genocide’, oleh Burmese Rohingya Organisation UK (BROUK).

Laporan tersebut mendesak pemerintah Inggris, sebagai penanggung jawab Myanmar di Dewan Keamanan PBB, untuk segera mengadakan pertemuan guna mengambil tindakan atas penghalangan bantuan kemanusiaan oleh militer Myanmar di Rakhine.

Penghalangan ini merupakan pelanggaran langsung terhadap Resolusi DK PBB 2669 serta perintah tindakan sementara Mahkamah Internasional (ICJ) untuk melindungi bangsa Rohingya yang masih bertahan di tanah airnya.

“Kelaparan telah menggantikan peluru sebagai alat utama genosida terhadap Rohingya,” tegas Tun Khin, Presiden BROUK.

“Pemotongan bantuan kemanusiaan oleh AS membantu militer Burma dalam kejahatan genosida mereka dengan menggunakan kelaparan sebagai senjata untuk memusnahkan kami.”

Lebih dari lima tahun telah berlalu sejak ICJ mengeluarkan perintah tindakan sementara yang mengikat secara hukum pada tahun 2020 guna melindungi bangsa Rohingya.

Sudah tiga tahun pula sejak Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 2669, yang mendesak dijaminnya akses kemanusiaan yang penuh, aman, dan tanpa hambatan di Myanmar.

Namun, rezim tersebut terus memblokir bantuan kemanusiaan yang dapat menyelamatkan nyawa bagi orang-orang di seluruh Myanmar, termasuk Rohingya, tanpa menghadapi konsekuensi apa pun sampai saat ini.

Dewan Keamanan PBB bahkan belum mengadakan pertemuan untuk membahas pelanggaran atas perintah ICJ, apalagi mengambil tindakan untuk menegakkan perintah tersebut.

Militer Myanmar mengancam staf PBB dan badan-badan bantuan internasional agar tidak merilis data tentang skala krisis pangan sebenarnya di Myanmar, dan secara khusus kelaparan di Arakan.

Rezim itu mengetahui hal ini, tetapi kurangnya data—dan tidak adanya tekanan yang akan terjadi jika data tersebut dipublikasikan—juga menguntungkan negara-negara yang tidak mau membayar kewajiban bantuan internasionalnya.

Kelaparan menyebar di antara hampir 145.000 warga Rohingya yang telah dikurung di kamp-kamp konsentrasi di Rakhine bagian tengah oleh militer Myanmar sejak 2012, yang sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan internasional untuk kelangsungan hidup mereka.

Rezim tersebut telah berulang kali menolak mengizinkan makanan dan obat-obatan dikirimkan kepada 25.000 warga Rohingya di kota Pauktaw sejak kehilangan kendali atas wilayah tersebut kepada Arakan Army (AA) pada Januari 2024.

Sepanjang tahun ini, 25 orang dewasa Rohingya dilaporkan meninggal karena kelaparan di wilayah tersebut, dan tujuh orang lainnya meninggal karena kurangnya perawatan medis untuk kondisi kronis lainnya. Sepuluh anak Rohingya diketahui kehilangan nyawa karena penyakit diare pada Desember tahun lalu, di samping puluhan lainnya yang meninggal awal tahun itu.

Di kamp-kamp konsentrasi Sittwe, terakhir kali 112.000 pengungsi internal Rohingya menerima jatah makanan adalah pada akhir Februari, menurut laporan lapangan.

Pada bulan Maret, World Food Programme (WFP) mengumumkan secara terbuka bahwa mereka terpaksa menghentikan bantuan pangan bagi orang-orang di Myanmar, termasuk Rohingya yang dikurung di kamp-kamp karena kekurangan dana sebesar $60 juta (hampir 1 triliun rupiah).

Pada akhir April, sebanyak 70 persen pengungsi internal Rohingya dilaporkan menghadapi kelaparan di beberapa kamp di Sittwe.

BROUK mendapat informasi dari sumber-sumber di lapangan bahwa jatah pangan WFP akan dimulai kembali pada bulan Juni, tetapi hanya sampai bulan September karena kekurangan dana yang sedang berlangsung.

Muslim Rohingya di Rakhine utara juga kelaparan setelah hidup di bawah blokade perdagangan dan bantuan oleh junta Myanmar selama 18 bulan, sejak dimulainya kembali konflik bersenjata pada bulan November 2023.

Penelitian BROUK menyoroti baik anak-anak maupun orang dewasa Rohingya menunjukkan tanda-tanda kekurangan gizi akut yang parah, yang memerlukan perawatan yang menyelamatkan nyawa segera.

Petugas kemanusiaan di Bangladesh telah mengonfirmasikan gelombang muhajirin baru dari Rakhine menunjukkan tanda-tanda kekurangan gizi yang parah, termasuk gemetar yang tidak terkendali.

BROUK memperingatkan bahwa temuannya ini kemungkinan hanya fenomena puncak gunung es dalam hal prevalensi kekurangan gizi akut dan kelaparan parah di antara warga Rohingya di tanah airnya, akibat pemutusan komunikasi bergilir yang diberlakukan oleh militer Myanmar.

Dengan sebagian besar wilayah tempat tinggal warga Rohingya di Rakhine kini berada di bawah kendali Arakan Army (AA), perhatian internasional yang jauh lebih besar perlu diberikan pada pelanggaran hak asasi manusia serius yang AA lakukan.

Laporan BROUK berisi informasi terperinci tentang kebijakan dan praktik AA yang sangat diskriminatif; yang diberlakukan secara eksklusif kepada warga Rohingya atas dasar identitas mereka. Ini adalah pengulangan dari kebijakan dan praktik persekusi yang sangat mirip dengan yang diterapkan oleh militer Myanmar.

Pelanggaran hak asasi manusia skala besar yang dilakukan oleh AA terhadap warga Rohingya meliputi pemindahan paksa, perampasan tanah, tindakan hukuman kolektif, kerja paksa, perekrutan paksa, serta penculikan, penahanan tanpa akses komunikasi, dan penyiksaan.

AA telah menolak hak ribuan pengungsi Rohingya untuk kembali ke rumah mereka di Kota Buthidaung dan justru menyita tanah mereka.

Pada saat yang sama, BROUK telah menerima banyak laporan tentang AA yang mengambil untung dari kesulitan warga Rohingya untuk melarikan diri.

Hanya mereka yang dekat dengan AA dan bisa membayar suap kepadanya yang diizinkan untuk beroperasi sebagai kelompok penyelundup manusia dan geng perdagangan manusia di Kota Buthidaung dan Maungdaw.

“Arakan Army melakukan pelanggaran HAM yang sama seperti militer Myanmar, tetapi tidak menghadapi sanksi yang sama, yang memberi mereka rasa impunitas dan membuat mereka berani untuk melanjutkannya,” tegas Tun Khin.

Laporan tersebut merupakan yang terbaru dari serangkaian laporan dwitahunan yang mendokumentasikan bagaimana tindakan sementara untuk melindungi Rohingya yang diperintahkan oleh Mahkamah Internasional secara rutin dilanggar, dan bagaimana Dewan Keamanan PBB, yang memiliki tanggung jawab untuk menegakkan perintah ICJ, telah gagal melakukannya.

“Tidak ada solusi mudah untuk mengakhiri genosida Rohingya, tetapi pendekatan saat ini dengan tidak melakukan apa pun bukanlah keputusan yang netral— (justru) ini adalah keputusan aktif untuk membiarkan genosida terus berlanjut dan membiarkan anak-anak Rohingya mati kelaparan,” ungkap Tun Khin.

“Yang kami minta hanyalah Dewan Keamanan PBB melaksanakan tanggung jawabnya dalam menegakkan hukum internasional. (Relief Web)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Pertengahan 2025, Baru 19% Kebutuhan Dana untuk Muhajirin Rohingya yang Dihimpun secara Global
Abaikan Lembaga Kemanusiaan Kredibel, Titik Distribusi GHF Jadi Lokasi Pembantaian »