Pemotongan Dana Bantuan Berdampak Luas, Ujian Berat untuk Muhajirin Rohingya
22 July 2025, 19:09.

Hujan monsun menyebabkan banjir di kamp pengungsian Nayapara di Teknaf, Bangladesh timur, pada Juli 2021. (UNHCR/Amos Halder)
BANGLADESH (UNHCR) – Di wilayah perbukitan Cox’s Bazar, kehidupan lebih dari 1 juta muhajirin Rohingya di kamp pengungsian terbesar dan terpadat di dunia penuh kesulitan, tetapi musim monsun membawa tantangan baru.
Hujan deras membuat jalan setapak yang sempit menjadi licin dan berbahaya. Sementara itu, tanah longsor mengancam akan menghancurkan jamban, fasilitas mandi, dan sumber air yang diandalkan para muhajirin.
Sejak 2020, UNHCR, Badan Pengungsi PBB, telah menjalankan inisiatif yang memberikan upah kepada para muhajirin untuk memperbaiki jalan setapak, menstabilkan lereng, dan memelihara fasilitas bersama lainnya di komunitas mereka.
Ini bukan sekadar proyek pemberdayaan, tetapi juga cara bagi para muhajirin untuk memastikan kamp tersebut dapat diakses oleh semua orang.
Sebagai imbalannya, mereka dapat memperoleh sedikit uang untuk menghidupi keluarga mereka dan melengkapi kebutuhan pokok mereka. Namun, krisis pendanaan bantuan global telah memangkas anggaran untuk program semacam ini.
Dahulu, 30 hingga 40 muhajirin berkontribusi dan mendapatkan manfaat dari setiap ratusan proyek pemeliharaan. Kini dana yang tersedia hampir tidak cukup untuk melibatkan tujuh atau delapan orang dalam beberapa proyek yang tersisa.
Pengurangan dukungan bagi muhajirin Rohingya disorot dalam laporan terbaru UNHCR tentang dampak krisis pendanaan kemanusiaan global bagi mereka yang terpaksa mengungsi.
UNHCR memperingatkan bahwa di Bangladesh, pemotongan dana tersebut sudah membuat kewalahan karena para muhajirin masih sangat bergantung pada bantuan dari luar untuk makanan, tempat tinggal, perawatan kesehatan, dan pendidikan.
Ujian Berat
Jahid Alam, seorang ayah dua anak berusia 45 tahun, biasa membeli ikan dan sayuran untuk anak-anaknya dengan uang yang ia hasilkan dari membawa karung pasir untuk proyek melindungi jalan setapak dari tanah longsor.
“Jumlah makanan yang kami dapatkan setiap bulan terbatas,” ujarnya lirih, “dengan pekerjaan tambahan ini, saya bisa membeli berbagai macam makanan untuk anak-anak saya. Sekarang, hal itu tidak mungkin lagi.”
Jahid dan istrinya sama-sama menyandang disabilitas. Selain memberi mereka cara untuk memperbaiki pola makan anak-anak mereka, mengerjakan proyek-proyek pemeliharaan memungkinkan mereka tetap berkontribusi terhadap komunitas.

Jahid Alam berdiri di atas jembatan yang dibangun oleh para muhajirin sebagai bagian dari program PBB yang dijalankan oleh komunitas tersebut. (UNHCR/Shagufta Shathy)
“[Ini] bukan sekadar program – ini adalah jalur penyelamat yang vital,” ungkap Afruza Sultana, yang bekerja di Site Management Support untuk BRAC, mitra utama PBB dalam menangani muhajirin Rohingya di Bangladesh.
“Program ini memberi mereka lebih dari sekadar upah – program ini memberi mereka sarana untuk memberi makan keluarga mereka dan membuat pengaturan alternatif untuk kebutuhan dasar.”
Ia menambahkan bahwa pemotongan program tersebut memiliki efek berantai pada keluarga-keluarga muhajirin Rohingya.
Yakni ditariknya banyak anak-anak dari pusat-pusat pembelajaran. Para orang tua terpaksa melakukan pekerjaan yang tidak aman atau bahkan melakukan perjalanan berbahaya guna mendapat kehidupan lebih layak di negara lain.
Infrastruktur Vital Terancam
Selain hilangnya pendapatan dan harapan bagi banyak muhajirin, pemotongan program bantuan ini berdampak pada fungsi dan keamanan kamp, terutama selama musim hujan ketika pemeliharaan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, jalur setapak, dan jamban sangat penting.
Pada paruh pertama tahun 2024, sekira 5.500 muhajirin pria dan wanita menyelesaikan lebih dari 500 proyek pemeliharaan. Tahun ini, jumlah tersebut telah turun hampir dua pertiganya, membuat kamp-kamp lebih rentan dari sebelumnya.
Tanpa pekerja untuk memperbaiki dan memperkuatnya, banyak jalur setapak dan jalan yang terkikis atau hanyut, saluran air tetap tersumbat, dan jembatan penyeberangan tidak dapat digunakan.

Lereng bukit di kamp Kutupalong terkikis oleh hujan monsun. (UNHCR/Shagufta Shathy)
“Ini bukan kesulitan semata,” jelas Afruza, “ini adalah bahaya sehari-hari yang mengancam keselamatan, kesehatan, dan mobilitas di kamp.”
Di tengah hujan deras yang mengguyur kawasan perbukitan itu, Jaynub Begum, 24 tahun, khawatir dengan minimnya perbaikan jalan setapak yang licin dan tidak rata di antara tempat-tempat pengungsian.
Tahun lalu, ibu empat anak ini mengerjakan proyek pembangunan tangga di bagian kamp yang berbukit. Tahun ini, kebutuhan akan proyek semacam itu terlihat jelas di mana-mana.
“Ada jamban di dekat tempat penampungan kami yang berisiko longsor, dan kami takut menggunakannya sekarang,” ujarnya. Namun, tidak ada inisiatif untuk merawatnya.
Selain infrastruktur yang runtuh, dampak krisis pendanaan mulai terasa di banyak aspek kehidupan lain di kamp. Bahkan ketika semakin banyak muhajirin yang baru tiba setelah melarikan diri dari konflik dan persekusi yang terus berlangsung di Myanmar.
Pada jumpa pers 11 Juli, UNHCR memperingatkan bahwa pemotongan dana akan semakin besar. Tanpa dana tambahan, akan mengganggu layanan kesehatan, distribusi bahan bakar untuk memasak, pendidikan untuk anak-anak, serta bantuan pangan.
“Dana kemanusiaan mungkin menyusut, tetapi kebutuhan di lapangan tidak,” tegas Afruza. “Kami mendesak masyarakat global untuk mengingat bahwa di balik setiap anggaran terdapat nyawa manusia, aspirasi, dan stabilitas yang rapuh dari salah satu populasi paling rentan di dunia.” (UNHCR)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
