Dikepung Teror dan Kekurangan Pangan Ekstrem, Warga Rohingya di Arakan Kian Terimpit
11 August 2025, 14:50.

Anak-anak Rohingya di sebuah desa di Kotapraja Buthidaung, Negara Bagian Rakhine Utara, Myanmar. (Amnesty International)
MYANMAR (The New Humanitarian) – Muslim Rohingya di Negara Bagian Arakan (Rakhine), Myanmar, selama beberapa dekade telah menjadi sasaran rentetan pelanggaran HAM.
Termasuk pembatasan pergerakan, penahanan sewenang-wenang, kerja paksa, pembunuhan di luar hukum, dan penolakan kewarganegaraan.
Namun, setelah semua itu, kini mereka masih juga harus mengalami kelaparan.
Bukan hanya oleh junta yang berkuasa. Dalam laporan terbaru, Human Rights Watch (HRW) juga mengungkapkan bahwa Arakan Army (AA), kelompok bersenjata etnis antijunta, melakukan pelanggaran serupa dan menindas bangsa Rohingya. Hal yang sebenarnya sudah didengungkan sejak bertahun-tahun lalu.
Bagi Muslim Rohingya yang selamat dari kekejaman junta pada masa lalu dan berhasil menghindari amukan AA, hidup tetaplah sangat sulit.
Fatima Khatun, seorang janda berusia empat puluhan, tinggal di Kotapraja Kyauktaw di timur laut Arakan, salah satu dari tiga kotapraja di Arakan yang masih berada di bawah kendali junta militer.
“Saya tidak punya pekerjaan tetap. Jika saya menemukan pekerjaan, saya akan melakukannya. Jika tidak bisa, saya meminta bantuan kerabat. Jika mereka tidak bisa membantu, saya hanya bisa menahan lapar,” ucapnya, duduk di lantai lembap sebuah gubuk dari bambu dan terpal sementara hujan merembes melalui atap.
Suaminya meninggal karena kanker empat tahun lalu, meninggalkannya untuk membesarkan empat anak sendirian.
Khatun pernah bekerja di ladang maupun mengangkut barang-barang. Namun, pekerjaan-pekerjaan semacam itu telah berkurang. Pada hari-hari ketika tidak ada pekerjaan, keluarganya hanya bertahan dengan dua cangkir beras.
“Saya sudah lama tidak makan daging atau ikan. Saya tidak mampu membelinya,” ungkapnya, “saya biasa memetik daun singkong di pinggir jalan atau mencari sayuran hijau di ladang.”
Ketika putra bungsunya baru-baru ini jatuh sakit, ia tidak mampu berobat.
“Kami hidup dari hari ke hari. Kalau harus mati, ya mati. Kalau tidak, kami akan terus hidup. Saya sudah berdamai dengan hal itu,” ujarnya.
Tidak seperti wilayah lain di Myanmar yang juga dilanda konflik, Negara Bagian Arakan di pesisir barat negara itu sebagian besar terputus dari jaringan bantuan lokal maupun internasional.
Pembatasan pergerakan yang telah berlangsung lama, blokade bantuan yang terus berlanjut oleh militer Myanmar, pengetatan kendali oleh AA, dan bentrokan yang terus berlanjut antara junta dengan AA membuat banyak warga sipil—baik Rohingya maupun Rakhine—terjebak dan kesulitan mengakses makanan, perawatan medis, maupun perjalanan yang aman.
“Kami bertanya apakah kami bisa diperlakukan sama? Mereka bilang akan memperlakukan kami seperti orang Burma (etnis mayoritas), tetapi mereka memanggil kami dengan ‘Bengali kalar’,” sebuah hinaan bagi umat Muslim Rohingya.
Sistem pendukung akar rumput yang telah mempertahankan perlawanan dan keberlangsungan hidup di tempat-tempat seperti Sagaing atau Karenni jauh lebih terbatas.
Meskipun kerawanan pangan tersebar luas di seluruh Myanmar, Rakhine adalah satu-satunya tempat PBB telah memperingatkan bahwa “kelaparan akut” akan segera terjadi, dengan lebih dari dua juta orang berisiko kelaparan.
“Jika pasokan makanan terus terhambat, komunitas Rakhine dan Muslim Rohingya akan menghadapi kelaparan dalam beberapa bulan mendatang,” ujar Aung Ko Ko, direktur eksekutif pendiri Mosaic Myanmar, yang bergerak di bidang resolusi konflik dan hak-hak minoritas, serta melakukan penelitian di seluruh negeri itu.
Muhajirin Rohingya yang belum lama menyelamatkan diri dari Arakan menceritakan kepada HRW bahwa mereka tidak diizinkan bekerja, menangkap ikan, bertani, atau bahkan pindah tanpa izin.
Mereka menghadapi kekurangan pangan yang ekstrem; sejumlah besar orang terpaksa meminta-minta.
Seorang pemuda berusia 19 tahun, yang mengaku menghabiskan lima bulan bersama AA setelah direkrut paksa sebagai buruh, mengatakan bahwa warga Rohingya sering dikirim ke garis depan sebagai “tameng manusia”.
“Jika ada yang melawan, mereka dipukuli dan dicemooh,” jelasnya.
Meskipun laporan kelompok HAM dan media hanya berfokus pada pelanggaran di tiga kota paling utara yang berbatasan dengan Bangladesh, pembatasan dan pengingkaran hak-hak dasar meluas ke seluruh negara bagian, di mana AA telah menguasai 14 dari 17 kotapraja sejak melancarkan serangan pada November 2023.
“Rohingya di wilayah Rakhine tidak memiliki kebebasan untuk bergerak atau mengakses pendidikan. Saya ingin belajar. Saya ingin bersekolah. Saya ingin dapat bepergian ke bagian lain negara ini,” ujar seorang pemuda Rohingya berusia 24 tahun dari Kotapraja Minbya di Rakhine tengah.
Badai yang Sangat Berat
“Saat ini, para muhajirin dan orang-orang yang terusir tidak hanya berjuang untuk mendapatkan makanan, pakaian, dan tempat tinggal, mereka juga menderita karena kurangnya akses terhadap obat-obatan. Dibandingkan dengan para muhajirin di sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar, komunitas di Rakhine adalah yang paling terdampak. Sejauh ini, kami belum mendengar adanya lembaga bantuan internasional yang mencapai wilayah Arakan,” ungkap Aung Ko Ko.
Ia merujuk pada pemblokiran pengiriman bantuan kemanusiaan oleh junta militer ke beberapa wilayah Arakan sejak November 2023, yang sejalan dengan pembatasan bantuan oleh penjajah ‘Israel’ ke Gaza; yang mengakibatkan penduduk Palestina kelaparan parah.
Kini, hanya tiga kotapraja yang berada di bawah kendali junta, salah satunya adalah Sittwe, ibu kota negara bagian sekaligus pelabuhan dan pusat transportasi utama Arakan.
Infrastruktur Arakan yang buruk serta pemadaman internet dan komunikasi juga menghambat penyaluran bantuan.
Namun, otoritas junta atas kota yang sebelumnya menjadi titik masuk penting bagi bantuan kemanusiaan merupakan alasan utama mengapa masyarakat tidak dapat mengakses bantuan dasar.
Kelompok hak asasi manusia Fortify Rights mengatakan, blokade oleh junta Myanmar telah secara langsung menyebabkan kematian warga sipil dan memperingatkan bahwa tindakan ini “dapat dianggap sebagai kejahatan perang”.
Pembatasan bantuan dan eskalasi konflik juga memaksa Médecins Sans Frontières (MSF) untuk menangguhkan kegiatan medisnya di Arakan Utara tanpa batas waktu, sejak Juni 2024.
Sementara itu, Komite Palang Merah Internasional mengatakan bahwa mereka terus mencoba mengirimkan bantuan saat “situasi dan keamanan memungkinkan”, tetapi tidak mengungkapkan lokasi-lokasi tersebut.
Hingga beberapa bulan yang lalu, World Food Programme (WFP) masih menyediakan bantuan yang sangat dibutuhkan dan beroperasi secara terbatas, meskipun terjadi blokade.
Kemudian pada bulan Maret, WFP mengumumkan bahwa kekurangan dana mengancam bantuan pangan bagi lebih dari satu juta orang di Myanmar, termasuk hampir 100.000 orang di Arakan tengah yang tidak akan memiliki akses ke makanan.
Sumber-sumber lokal di Arakan mengatakan, WFP telah menghentikan bantuannya di sana.
Than Hla May, 36, melarikan diri ketika di desanya—yang terletak di dekat Sittwe dan berada di bawah kendali AA—terjadi pertempuran antara kedua pihak hingga mencapai rumahnya.
Ia telah tinggal di kamp pengungsian di Ponnagyun di Arakan tengah selama hampir satu tahun. Ia mengatakan, ia belum menerima bantuan rutin selama tujuh bulan terakhir.
“Tidak ada organisasi yang mendukung kami secara rutin. Beberapa kelompok memberi kami 50.000 kyat (sekira 250 ribu rupiah) per orang, tetapi mereka tidak menyebutkan nama mereka. Terkadang, kami hanya mendapatkan barang-barang kecil, seperti sabun dan pasta gigi,” ujarnya.
Wilayah Arakan juga semakin rentan terhadap cuaca ekstrem, termasuk badai seperti Mocha pada tahun 2023.
Negara bagian tersebut telah mengalami dua gelombang banjir pada musim hujan ini yang berdampak pada kamp Than Hla May. Namun, ia terjebak di sana karena AA melarang mereka pulang, dengan alasan sering terjadi bentrokan di dekat kamp. (The New Humanitarian)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
