Penjajah Loloskan Barang Komersial dengan Harga Sangat Mahal, Mengejek Ahlu Syam Gaza yang Kelaparan

20 September 2025, 14:40.

Warga Gaza berjalan di sebuah pasar di Deir al-Balah, Gaza tengah, pada 11 Agustus 2025. (Foto: Arsip Abdel Kareem Hana/AP)

GAZA (Al Jazeera) – Bulan lalu, negara palsu ‘Israel’ meluncurkan kampanye berbayar di media sosial, mengklaim tidak ada kelaparan di Gaza. Mereka merilis video yang menunjukkan makanan di restoran dan pasar penuh dengan buah dan sayur.

“Tidak ada kelaparan di Gaza. Klaim (yang mengatakan hal) lain adalah kebohongan,” demikian bunyi video tersebut.

Memang benar bahwa saat ini Anda dapat melihat pasar dan toko-toko dengan rak terisi penuh di Gaza selatan.

Anda dapat melihat keranjang-keranjang berisi mentimun dan tomat, karung-karung tepung, karton-karton telur, dan botol-botol minyak. Bahkan ada kafe dan restoran yang menyajikan piza, minuman, dan hidangan penutup yang terbuat dari apa pun yang masih ada di pasar.

Dari kejauhan, tempat-tempat ini tampak hampir biasa, seperti upaya untuk melestarikan fragmen-fragmen kehidupan normal sebelum agresi genosida ‘Israel’.

Namun, kenyataannya, tempat-tempat ini sangat jauh dari jangkauan masyarakat. Harga-harganya sangat tinggi, dan bahkan mereka yang mampu membelinya menghadapi hambatan lain: krisis keuangan.

Segelintir orang yang masih memiliki uang di rekening bank harus membayar komisi 50 persen untuk dapat menarik uang tunai miliknya.

Uang kertas sering kali sudah sangat usang sehingga toko dan kafe menolak menerimanya. Akibatnya, hanya segelintir kalangan yang “cukup beruntung” yang masih bisa duduk di kafe dan menyeruput kopi seharga $9 (sekira 140 ribu rupiah) atau menikmati piza kecil seharga $18 (hampir 300 ribu rupiah), sedangkan kami semua hanya bisa menonton.

Situasi serupa juga terjadi di pasar. Kebanyakan orang yang melewati kios-kios yang penuh dengan barang dagangan tidak mengambil sekantong tomat atau sebaki telur.

Mereka hanya melihat, terkadang berlama-lama dalam diam, terkadang berlalu cepat dengan tatapan kosong.

Bagi sebagian besar, bahkan hampir seluruh warga Gaza, barang-barang ini terlihat, tetapi tak tersentuh. Seolah mengejek karena jumlahnya yang melimpah, tetapi menyakitkan karena harganya tak terjangkau.

Inilah paradoks kelaparan di Gaza: Makanan tersedia di tempat-tempat tertentu, tetapi tak terbeli.

Saya masih ingat bagaimana pada awal Agustus, keju dan gula sempat kembali ke pasar setelah berbulan-bulan tidak terlihat. ‘Israel’ baru saja mulai meloloskan truk komersial masuk ke Gaza, alih-alih bantuan kemanusiaan.

Saya tak bisa menggambarkan luapan kegembiraan yang tiba-tiba menyerbu saya saat melihatnya. Sudah lama sekali saya tidak melihat keju, bahkan bentuknya pun terasa asing bagi saya. Untuk sesaat, saya merasakan sesuatu yang tak bisa saya rasakan selama berbulan-bulan: kegembiraan.

Pagi itu, saya terbangun dengan rasa pusing karena lapar. Berat badan saya sudah turun lebih dari 10 kg hanya dalam tiga bulan, dan tubuh saya sering gemetar karena lemas.

Namun, melihat gula dan keju di rak-rak itu sedikit menerangi hati saya. Mungkin, pikir saya, segalanya akan berubah sekarang. Mungkin blokade sedang mereda. Mungkin kami bisa mulai hidup normal kembali.

Namun, ketika saya menanyakan harganya, hati saya terhenyak seketika. Rasanya absurd, menggelikan, bahkan kejam. Satu kilogram gula harganya $70 (lebih dari satu juta rupiah)—nominal yang lebih mahal daripada pendapatan mingguan beberapa keluarga sebelum agresi genosida. Sepotong keju yang hampir tidak cukup untuk sarapan satu keluarga harganya $10 (sekira 160 ribu rupiah).

Saya tidak jadi membeli apa pun. Saya pergi, menghibur diri dengan pikiran bahwa mungkin dalam beberapa hari harga akan turun.

Ternyata tidak. Beberapa minggu kemudian, tepung, telur, dan minyak muncul—tetapi lagi-lagi, dijual dengan harga yang seolah mengejek rasa lapar kami.

Satu kilogram tepung, yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari satu keluarga, harganya $45 (hampir 750 ribu rupiah), meskipun ada hari-hari ketika harganya turun menjadi $26 (sekira 430 ribu rupiah). Sementara itu, sebutir telur kecil bisa berharga $5 (80 ribu rupiah).

Kemunculan kembali barang-barang komersial secara tiba-tiba ini bukanlah kebetulan. Barang-barang ini tidak dimaksudkan untuk memberi makan penduduk, tetapi untuk membanjiri pasar dengan produk secukupnya agar dapat difilmkan dan difoto di tengah tekanan dan desakan global terhadap penjajah ‘Israel’.

Sesampainya di Gaza, barang-barang tersebut melewati beberapa tangan dan rantai perantara: pemasok ‘Israel’ yang menetapkan harga tinggi sejak awal, pedagang yang membayar suap atau “biaya perlindungan” kepada kelompok bersenjata, dan spekulan yang menimbun persediaan untuk dijual kembali nanti.

Saat makanan mencapai rak, nilainya telah meningkat pesat sehingga menjadi barang mewah yang hanya dipajang alih-alih dikonsumsi.

Momen-momen ini, masuknya barang yang diatur dengan cermat, telah menjadi senjata tersendiri. ‘Israel’ tahu bahwa sebagian besar rakyat Palestina kini tidak memiliki pekerjaan dan sepenuhnya bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup.

Kekejamannya bukan hanya pada bom atau blokade, tetapi juga pada cara mereka mempermainkan kebutuhan kami dengan membiarkan beberapa barang masuk, hanya untuk mengejek kami, menyiksa kami.

Kini, makanan telah menjadi pengingat kejam akan apa yang telah hilang. Melihat timun di pasar bukan lagi membayangkan salad yang menyegarkan, melainkan merasakan perih karena tahu Anda tak mampu membelinya.

Melihat gula bukan lagi membayangkan teh yang dinikmati bersama teman, melainkan merasakan pahitnya ketidakberdayaan.

Para ibu menghitung shekel di tangan mereka, tahu mereka takkan pernah cukup untuk membeli makanan.

Para ayah mengalihkan pandangan dari wajah anak-anak mereka yang kelaparan, malu karena rak penuh, tetapi mereka tak mampu membawa pulang secuil pun makanan.

Manipulasi yang disengaja ini mengubah setiap kunjungan ke pasar menjadi tindakan penghinaan, sebuah pengingat bahwa hidup normal terlihat jelas di depan mata kami, tetapi tak sanggup kami wujudkan.

Hal yang dialami Gaza seharusnya tidak disebut “kelaparan”—kelangkaan pangan yang disebabkan oleh kekeringan, kegagalan ekonomi, atau bencana alam. Ini adalah kelaparan yang disengaja, direkayasa oleh penjajah. Ini adalah perampasan secara perlahan dan terencana yang diberlakukan melalui blokade, pengeboman, dan kekacauan.

‘Israel’ meluncurkan kampanye propagandanya tak lama sebelum pemantau kelaparan PBB akhirnya mengumumkan secara resmi kelaparan di Gaza.

Saat itu, sedikitnya 376 warga Palestina, hampir setengahnya anak-anak, telah meninggal karena kelaparan. Sejak itu, jumlah korban syahid akibat kelaparan telah melampaui 400 nyawa. ‘Israel’ telah secara resmi mengumumkan rencananya untuk menghentikan bantuan ke Gaza utara seiring berlanjutnya serangan di Kota Gaza.

Sementara itu, dunia tidak melakukan apa pun selain memberikan kecaman. (Al Jazeera) 

Disadur dari tulisan Ahmad Abushawish, seorang penulis dan aktivis Gaza.

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Belasan Ribu Ahlu Syam Tinggalkan Al-Mawasi Saat Tank-Tank Penjajah Merangsek ke Kota Gaza
360 Tenaga Medis dari Gaza Disekap di Penjara Penjajah Zionis »