Membedah Arti Pengakuan: Ketika Kata-Kata Sering Digunakan Menutupi Nihilnya Tindakan

23 September 2025, 19:05.

Grafiti di tembok di Kota Khan Yunis, Gaza selatan, yang menggambarkan anak-anak Palestina yang kehilangan pendidikan karena agresi genosida ‘Israel’, 14 Juni 2024. (Hani Alshaer/Anadolu Agency)

PALESTINA (Middle East Monitor) – Selama beberapa dekade, pengakuan atas negara Palestina telah bergema di gedung-gedung PBB, di bibir para politisi, dan dalam nyanyian masyarakat di berbagai penjuru dunia.

Pengakuan bukan sekadar kata-kata yang terucap dalam siaran pers atau kalimat yang terukir dalam catatan diplomasi.

Pengakuan adalah langkah yang memberikan Palestina kedudukan hukum dalam sistem internasional, membuka pintu bagi perjanjian dan organisasi, serta memperkuat suara mereka di forum-forum global.

Dari perspektif ini, setiap pengakuan baru merupakan keuntungan simbolis dan moral yang tidak boleh diremehkan.

Namun, seperti yang dialami Palestina dari pengalaman pahit selama ini, kata-kata terkadang hanya untuk menutupi nihilnya tindakan.

Pengakuan saja tidak akan menghentikan pengeboman di Gaza, membekukan perluasan permukiman ilegal di Tepi Barat, atau mencabut pengepungan di Baitul Maqdis.

Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: apa yang melatarbelakangi pengakuan-pengakuan tersebut? Apakah ini sebuah langkah menuju perubahan nyata, atau sebatas kartu yang digunakan oleh beberapa negara Barat untuk menghindari tanggung jawab yang lebih berat?

Penting juga untuk ditegaskan bahwa pengakuan negara Palestina bukanlah pengganti hak-hak fundamental lainnya. Pengakuan ini juga tidak dapat dianggap sebagai harga yang cukup untuk mengganti rugi atas pelepasan hak untuk kembali, kedaulatan yang dicabut, maupun penjajahan dalam segala bentuknya yang selama ini telah dirasakan rakyat Palestina.

Meski begitu, mereka memandang pengakuan internasional sebagai langkah pelengkap dalam perjalanan panjang menuju keadilan yang komprehensif.

Pengakuan sebagai Pelarian dari Tanggung Jawab

Terlalu mudah bagi pemerintah Barat untuk menyatakan: “Kami telah mengakui Palestina.” Frasa ini singkat, meyakinkan, dan meredakan amarah publik atas pembantaian terus-menerus di Gaza.

Namun, pada saat yang sama, hal ini jauh lebih murah daripada menjatuhkan sanksi terhadap ‘Israel’, membatasi ekspor senjata, maupun meninjau kembali kemitraan ekonomi dengan negara palsu tersebut.

Di sini, pengakuan berfungsi sebagai katup pengaman politik: ia meredakan tekanan publik, memuaskan pemberitaan di media, dan memberi kesan adanya pergerakan, padahal kebijakan inti tetap tak tersentuh.

Hal ini seperti menawarkan obat pereda nyeri kepada pasien untuk meredakan rasa sakit tanpa mengobati penyakit yang mendasarinya.

Namun, “obat pereda nyeri” ini memang menambah catatan legitimasi Palestina. Dalam hal ini, pengakuan internasional tetap dapat terakumulasi menjadi daya ungkit jika Palestina berinvestasi di dalamnya dengan bijak.

Memberikan Citra Baru Peran Barat

Setelah bertahun-tahun memberikan dukungan tanpa syarat kepada ‘Israel’, beberapa ibu kota Barat mendapati diri mereka dalam posisi yang sulit: dituduh terlibat, dilucuti kredibilitasnya, dan menghadapi kemarahan rakyat yang semakin besar.

Dengan demikian, pengakuan hadir sebagai sarana pemberian citra baru: Barat kembali tampil sebagai “perantara yang jujur” dan “penjaga hukum internasional”.

Buktinya jelas: retorika yang kuat, tetapi hanya diiringi tindakan yang terbatas. Frasa tentang “solusi dua negara” diulang-ulang dalam konferensi, tetapi tanpa langkah-langkah nyata terkait bantuan militer atau hubungan ekonomi dengan ‘Israel’.

Pengakuan menjadi seperti lukisan dekoratif yang digantung di dinding yang retak: ia menghiasi ruangan, tetapi tidak memperbaiki kerusakan.

Perbedaan nyata baru muncul ketika pengakuan-pengakuan ini dipadukan dengan kebijakan konkret: meninjau perjanjian ekonomi dan senjata, atau mendukung kasus-kasus Palestina di pengadilan internasional. Baru pada saat itulah pengakuan bergeser dari sekadar hiasan diplomatik menjadi pengaruh yang nyata.

Keuntungan ‘Israel’ dari Pengakuan Simbolis

Beberapa orang mungkin beranggapan bahwa ‘Israel’ takut akan adanya pengakuan terhadap negara Palestina. Kenyataannya lebih kompleks. ‘Israel’ tahu bahwa pengakuan yang kosong juga dapat menguntungkan kepentingannya.

Pengakuan tersebut menciptakan kesan adanya proses politik, sedangkan fakta di lapangan tetap tidak berubah: permukiman ilegal terus berkembang, dan pengepungan maupun penindasan tetap berlanjut.

Bagi negara palsu zionis, pengakuan simbolis bagaikan tabir asap: ia menyembunyikan penjajahannya di balik pembicaraan tentang “solusi dua negara” yang hanya ada dalam pernyataan pers.

Lebih buruk lagi, hal ini memperpanjang pembahasan manajemen konflik tanpa membuat ‘Israel’ menanggung biaya riil apa pun.

Namun, hal ini bukannya tak memberikan risiko terhadap penjajah ‘Israel’. Seiring bertambahnya pengakuan, lingkungan hukum dan politik baru dapat tercipta.

Palestina menjadi lebih mudah untuk mengajukan tuntutan ke mahkamah internasional, memperkuat narasi sejarah mereka, dan membuka pintu bagi tuntutan ekonomi dan hukum terhadap permukiman ilegal zionis.

Inilah tepatnya mengapa ‘Israel’ berusaha untuk sebisa mungkin membatasi pengakuan-pengakuan yang ada hanya dalam kerangka simbolis murni dan tak menimbulkan risiko bagi mereka.

Antara Simbol dan Substansi

Pengakuan terhadap negara Palestina memang memiliki kegunaan, tetapi tidak cukup dengan sendirinya. Pengakuan ini juga bukan alternatif terhadap seluruh tuntutan hak rakyat Palestina yang tidak dapat diabaikan.

Palestina tidak menginginkan negara tanpa Baitul Maqdis, kedaulatan yang berkurang, maupun entitas yang mengubur haknya untuk kembali ke tanah airnya.

Yang dibutuhkan saat ini adalah langkah-langkah konkret, bukan sekadar isyarat kosong: tindakan yang menghentikan genosida, menghentikan perluasan permukiman ilegal zionis, mencabut blokade, dan mengakhiri impunitas penjajah ‘Israel’.

Jika pengakuan tetap tanpa diiringi konsekuensi, hal itu tidak akan mengubah apa pun di lapangan. Bahkan mungkin membebaskan ‘Israel’ dari tanggung jawab atas kejahatannya.

Namun, jika dikaitkan dengan kebijakan praktis dan tekanan yang nyata, maka pengakuan dapat menjadi pendorong menuju keadilan, kedaulatan, dan kebebasan. (Middle East Monitor) 

Disadur dari tulisan Dr. Ibrahim Hamami

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« 360 Tenaga Medis dari Gaza Disekap di Penjara Penjajah Zionis
Al-Hindi: “Pengakuan Dunia Tidak Bermakna jika Tak Digunakan Menghentikan Genosida!” »