Pembantaian Merajalela di El-Fasher, Puluhan Ribu Warga Sudan Hijrah ke Tawila
1 November 2025, 23:02.

Warga Sudan beristirahat di kamp pengungsian bagi keluarga yang melarikan diri dari El-Fasher menuju Tawila, Darfur Utara, Sudan, 27 Oktober 2025. Foto: Mohammed Jamal/Reuters
SUDAN (Al Jazeera | Middle East Monitor) – Kekejaman terjadi di El-Fasher, kota di Darfur Utara, Sudan, ketika pasukan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF) melakukan pembantaian terhadap penduduk sipil yang tak berdaya.
Menurut Jaringan Dokter Sudan, sedikitnya 1.500 orang dibantai sejak RSF merebut kota tersebut pada hari Ahad (26/10/2025)—termasuk 460 orang yang dibantai di sebuah rumah sakit, dalam salah satu serangan paling brutal yang dikecam dunia internasional.
Lebih dari 36.000 warga melarikan diri sejak Sabtu (25/10/2025). Sebagian besar dipaksa berjalan kaki menempuh 70 kilometer menuju Tawila, kota kecil yang sudah menampung sekira 650.000 pengungsi internal sebelumnya.
“Kami melihat banyak mayat bergelimpangan di jalanan. Orang-orang yang terluka dibiarkan begitu saja karena keluarganya tak sanggup mengangkat mereka,” tutur Hayat, seorang ibu lima anak kepada AFP melalui sambungan satelit.
Hayat menceritakan, tujuh serdadu RSF merampok rumahnya, menggeledah tubuhnya, dan menembak mati anak laki-lakinya yang berusia 16 tahun di depan matanya sendiri.
Seorang warga lain, Hussein, yang terluka akibat serangan mortir, berhasil mencapai Tawila dengan bantuan keluarganya yang bergotong royong membawa ibu mereka menggunakan gerobak keledai.
“Keadaan di El-Fasher benar-benar mengerikan—mayat di mana-mana, tak ada yang bisa menguburkan,” katanya.
“Kami bersyukur bisa sampai di sini, meski hanya dengan pakaian yang menempel di tubuh.”
Dibantai Siang Malam
Sementara itu, Aisha Ismael, pengungsi lain dari El-Fasher, menggambarkan hari-hari penuh ancaman yang ia alami.
“Penembakan dan serangan drone terjadi tanpa henti. Mereka memukul kami dengan popor senjata siang dan malam, kecuali kami bersembunyi di dalam rumah,” katanya kepada Associated Press.
“Pukul tiga dini hari kami kabur diam-diam menuju Hillat Alsheth, tetapi di sana kami dijarah. Mereka mengambil semuanya, saya datang ke sini tanpa alas kaki, sepatu saya dirampas.”
Menurut Al Jazeera melalui laporan Hiba Morgan dari Khartoum, ribuan orang terus melarikan diri dari El-Fasher setiap harinya.
Sedikitnya 15.000 orang baru tiba di Tawila dalam 48 jam terakhir saja, sebagian besar menderita luka, kelaparan, dan kehausan setelah berjalan berhari-hari tanpa bantuan.
“Banyak dari mereka membutuhkan pertolongan medis segera setelah perjalanan panjang tanpa makanan dan air,” ujar Morgan, mengutip Jaringan Dokter Sudan yang memantau jalannya perang saudara di negara itu.
“Mayat Bergelimpangan di Jalan, Tak Ada yang Menguburkan”
Para penyintas yang melarikan diri dari Kota El Fasher menggambarkan kengerian setelah RSF merebut kota tersebut.
Mereka mengatakan mayat-mayat berserakan di jalan, anak-anak dibunuh di depan keluarga mereka, dan tidak ada yang menguburkan.
PBB memperingatkan dampak menghancurkan bagi warga sipil. Sementara itu, lebih dari 36.000 orang melarikan diri hanya dalam satu hari, setelah RSF merebut benteng terakhir tentara Sudan di wilayah Darfur.
Kota Tawila, yang kini menampung lebih dari 650.000 pengungsi, menghadapi krisis pangan dan obat-obatan akut.
Kesaksian para penyintas mengungkap pola kekejaman yang mengingatkan pada genosida Darfur awal 2000-an, saat milisi Janjaweed—cikal bakal RSF—membunuh ratusan ribu orang dan mengakibatkan lebih dari 2,7 juta orang terpaksa mengungsi.
Tiga penyintas di Tawila menggambarkan kekacauan pelarian mereka, dengan RSF memblokir akses makanan, obat-obatan, dan air selama pengepungan 18 bulan. (Al Jazeera | Middle East Monitor)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
