Sungai Jernih Revolusi Suriah (bagian 1 dari 2 tulisan)
17 November 2013, 17:41.

Syeikh Usamah Ar-Rifa’i, Wakil Ketua Rabithah ‘Ulama Syam. foto: Sahabat Al-Aqsha | Sahabat Suriah
ISTANBUL, Ahad (SahabatAlAqsha.com | SahabatSuriah.com):
Laporan ini kami terbitkan sebagai kerja sama antara Majalah Hidayatullah dengan Sahabat Al-Aqsha dan Sahabat Suriah. Akhir September lalu sebuah tim relawan kemanusiaan yang di dalamnya juga wartawan menjumpai Syeikh Usamah Ar-Rifai, Wakil Ketua Rabithah ‘Ulama Syam di Istanbul. Selamat menikmati, semoga bermanfaat.
Dari telaga ilmu menjadi sungai jihad. Mereka yang sempat merasakan kesejukan telaga jernih ilmu-ilmu Islam di Masjid Ar-Rifa’i yang terletak di Kfar Susyeh jantung kota Damaskus, sebelum tahun 2011, akan tertegun-tegun menyaksikan telaga itu kini menjelma jadi arus deras sungai jihad. Mata air telaga itu bernama Syeikh Usamah ‘Abdul Karim Ar-Rifa’i, seorang ‘alim kelahiran tahun 1944.
Sejak bulan Ramadhan dua tahun lalu ‘alim yang sangat disegani di kalangan kelas menengah Suriah ini menyingkir ke Istanbul, setelah masjidnya diserang pasukan rezim Basyar Assad dan ia hampir terbunuh. Bendera melawan kemungkaran sudah dikibarkannya sejak awal Revolusi Suriah berkobar Maret 2011.
Kini Syeikh Usamah, bersama Syeikh Kuraim Rajeh, memimpin Rabithah ‘Ulama Syam yang bermarkas di Istanbul, bekas ibukota Kekhalifahan Utsmaniyyah.
Katika wartawan majalah Suara Hidayatullah Dzikrullah W. Pramudya mengunjungi kantornya yang sederhana itu akhir September lalu, Syeikh Usamah tengah sibuk menerima rombongan demi rombongan tetamu.
Belum ke Indonesia
Di Indonesia, nama Syeikh Usamah belum seterkenal ‘ulama Damaskus lain seperti Syeikh Wahbah Zuhaili yang sering berkunjung ke sini, Syeikh Mustafa Bugho penulis Al-Wafy syarah Arba’in An-Nawawi, maupun Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi yang buku Fiqhus Sirah atau Sirah Nabawiyah-nya sangat populer.
Kitab Tafsirul Wajiz karya Syeikh Usamah diterbitkan oleh Gema Insani Press dalam bahasa Indonesia pada tahun 2008. Namun Syeikh Usamah belum juga sempat berkunjung ke Indonesia. Beliau memang hampir tak bisa meninggalkan ibukota kekhalifahan Islam kedua itu, memelihara telaga ilmu, menyegarkan kota Damaskus.
Masjid itu diberi nama dari ayahnya, ‘Abdul Karim Ar-Rifa’i, terletak di sebuah bundaran, berseberangan dengan gedung redaksi koran Al-Ba’ats milik rezim Partai Sosialis Arab Ba’ats yang sudah 50 tahun berkuasa atas Suriah. Masjid Ar-Rifa’i juga bertetangga dengan Markas Besar Intelijen Militer Suriah.
Sebelum Revolusi Suriah meletus, setiap hari ba’da solat subuh, kecuali hari Jum’at, Syeikh Usamah duduk di ruangan besar lantai bawah tanah masjid itu dikerumuni lebih seratus muridnya dari berbagai kalangan, ulama, imam dan khatib masjid-masjid, pengusaha, pejabat pemerintah, pedagang, bahkan mahasiswa dari berbagai negara termasuk Indonesia pun rajin hadir. Ya setiap hari.
Dari segi latar belakang pemikiran keagamaannya pun mereka hadir dari banyak ragam: Salafi, Ikhwan, Tabligh, bahkan tokoh-tokoh gerakan Hamas pun sempat mengaji di majelis subuh yang berkah itu.
Dalam waktu 1 jam, tiga orang muridnya akan bergantian membaca halaman demi halaman tiga kitab yang dijadualkan. Ada Mughni Labib, Hayatush-Shahabah, kajian kritis tafsir mu’tazilah Al-Kasyf, kitab-kitab tafsir dan hadits, fiqh, masing-masing kitab dibaca 20 menit. Setiap selesai pembacaan sebuah kitab, diselingi pembacaan shalawat.
“Bacaan shalawatnya itu yang bikin kita kangen,” kata Ustadz Bachtiar Nasir dari Indonesia yang pernah menghadiri majelis ba’da subuh itu saat berkunjung ke Damaskus tahun 2009.
Sesekali, layaknya sebuah ensiklopedi berjalan, Syeikh Usamah menginterupsi pembacaan kitab lalu menjelaskan masalah-masalah tertentu yang dianggapnya perlu. Penjelasannya jarang berpendapat pribadi, melainkan mengutip rujukan-rujukan penting lain. Tidak jarang, penjelasan itupun memancing tanya jawab.
Seusai majelis itu, orang-orang melaksanakan solat syuruq yang pahalanya dijanjikan sama dengan haji dan umrah. Syeikh Usamah akan naik ke ruang kerjanya di lantai satu masjid. Siap menerima siapa saja. Ada pengusaha yang minta fatwa tentang bisnisnya, ada mahasiswa yang perlu bimbingan keilmuan, ada suami yang minta nasihat menyelesaikan cekcok rumah tangganya, atau mahasiwa Indonesia yang mau mewawancara untuk majalahnya. Semua dilayani dengan sabar. Asalkan mereka juga sabar mengantri.
Di dekat pintu masuk ke ruang Syeikh Usamah, putranya Bilal, duduk di karpet menerima setoran hafalan Al-Quran beberapa orang. Pada saat yang sama lingkaran-lingkaran halaqah Al-Quran bertebaran di seluruh ruangan masjid yang mampu menampung lebih dari 2000 orang itu. Yang hadir bermacam-macam, pegawai yang mau ke kantor, murid-murid sebelum masuk sekolah, mahasiswa sebelum ke kampus, pedagang sebelum ke pasar.
Setelah tamu-tamu habis, tepat jam 8 pagi, Syeikh Usamah sudah duduk kembali di sebuah majelis ta’lim khusus para dokter senior kota Damaskus. Agak siang sedikit ia menyambangi para guru di madrasah yang gedungnya satu lingkungan dengan masjid itu. Juga menyambangi kantor Jam’iyah Zayd, yayasan sosial yang membantu keperluan hidup rakyat miskin dari makanan sampai beasiwa sekolah.
Khutbah Jum’at Syeikh Usamah berisi urutan sejarah hidup Rasulullah Shallallaahu ‘alayhi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin sambung menyambung. Bahasanya sederhana tapi perspektif dan hikmahnya sangat dalam dan menyentuh kalbu. Selalu saja ada bagian yang mendesak orang mencucurkan air mata. Biografi ‘Utsman bin ‘Affan belum khatam ia khutbahkan saat harus terpaksa hijrah ke Istanbul.
Setiap usai solat Jum’at, Syeikh Usamah duduk dikerumuni ratusan jama’ah yang satu per satu meminta fatwa tentang berbagai masalah kehidupan sehari-hari. Islam begitu hidup dan dekat di bawah bimbingan ‘alim yang berkualitas, ikhlas dan sabar melayani.
Kehidupan yang indah dan tenang itu kini harus diganti dengan kehidupan yang tak kalah indahnya: Jihad fii Sabiilillah.

Masjid Ar-Rifa’i di Kfar Syusyeh, jantung kota Damaskus, sebelum revolusi ialah telaga ilmu, setelah revolusi mengalirkan sungai jernih jihad fii Sabiilillah. foto: Panoramio
Memimpin Rabithah
Memimpin Rabithah ‘Ulama Syam berarti memimpin barisan ‘ulama dan rakyat yang melawan angkara murka raksasa rezim Presiden Suriah Basyar Al-Assad. Rezim ngamuk yang dalam 2,5 tahun ini telah membantai lebih dari 100.000 orang rakyatnya sendiri. Menurut Local Coordination Committee Syria (LCCSy: semacam jaringan RT/RW) sekitar 12.000 diantaranya anak berusia di bawah 16 tahun. Rezim Sosialis Ba’ats dan ‘Alawiyah-Nusairiyah itu bersikeras terus berkuasa setelah 40 tahun dipimpin keluarga Assad turun-temurun.
Menyingkir ke pengasingan seperti ke Istanbul ini, bukan baru sekali dilakukan Syeikh Usamah. Sesudah bentrokan berdarah antara rezim Hafez Al-Assad –ayah Basyar–melawan Al-Ikhwanul Muslimin 1979-1982, Syeikh Usamah dan adiknya Syeikh Sariyah Ar-Rifa’i juga waktu itu terpaksa menyingkir ke Saudi selama lebih dari 15 tahun.
Sejak kepulangannya tahun 2000, keduanya langsung menarik ribuan pengikut dan pelan-pelan menjadi suara yang sangat didengar dan disegani rakyat di berbagai lapisan.
Syeikh Sariyah termasuk 19 ‘ulama Suriah yang menandatangani petisi menentang kezhaliman rezim Assad. Kedua bersaudara Ar-Rifa’i ini juga terang-terangan mendukung rakyat yang berunjuk rasa menentang pembunuhan dan kekerasan rezim.
Pada tanggal 1 April 2011 sekitar 600 orang jama’ah masjid berunjuk rasa di Masjid Ar-Rifa’i. Unjuk rasa demi unjuk rasa terus terjadi di masjid itu. Jama’ah masjid yang hadir sama sekali tidak mempedulikan sweeping yang dilakukan aparat intelijen rezim Assad. Seperti yang dialami masjid-masjid di seluruh Suriah, setiap solat Jum’at para intel berdiri di gerbang masjid memeriksa KTP. Kalau yang datang bukan warga di dekat masjid, diusir untuk solat di masjid lain yang di dekat rumahnya.
Puncaknya di malam Laylatul Qadr Ramadhan 1432 atau 27 Agustus 2011. Jama’ah qiyamul lail Masjid Ar-Rifa’i berunjuk rasa menentang pembantaian yang semakin ganas dilakukan rezim Assad di berbagai kota di Suriah.
“Rakyat tuntut rezim turun! Rakyat tuntut rezim turun! Rakyat tuntut rezim turun!” teriakan itu membelah langit Malam Seribu Bulan.
Seperti sudah diduga, ratusan aparat intelijen dan polisi rezim Assad menyerbu masuk ke dalam masjid dan memukuli para pengunjuk rasa. Rak-rak sepatu yang dipakai membarikade pintu-pintu masjid dijebol. Kaca-kaca jendela dan lampu-lampu kristal pecah berjatuhan. Salah seorang aparat naik ke atas atap masjid melepaskan tembakan dari AK-47 untuk membuat takut jama’ah. Puluhan orang luka-luka. Seorang pria mati terbunuh. Syeikh Usamah juga dipukuli. Kepalanya terluka dan ia segera dilarikan ke rumah sakit.
Para ‘ulama Suriah mengecam tindakan rezim yang menyerang masjid dan memukuli Syeikh Usamah serta jama’ahnya. Diantara mereka yang secara resmi mengecam tindakan brutal itu Syeikh Ali Ash-Shabuni, Syeikh Muhammad Ratib Nabulsi. Dari seluruh dunia para ‘ulama juga mengutuk kejahatan itu, diantara Syeikh Al-Azhar Ahmad al-Tayyib dan ‘Ali Jum’ah, Syeikh Hamzah Yusuf dari Amerika Serikat, Syeikh Mustafa Ceric dari Bosnia-Herzegovina dan banyak lagi.
Berikut ini sebagian obrolan kita dengan Syeikh Usamah yang ramah, lembut, dan rendah hati ini. Bismillaah… * [Bersambung ke sini, klik “Sungai Jernih Revolusi Suriah” bagian kedua] (Sahabat Al-Aqsha | Sahabat Suriah | Majalah Hidayatullah)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
