“Mereka Memang Hancurkan Rumah Kami, tetapi Mereka Tak Bisa Hancurkan Ikatan Hati dan Kenangan Kami”
3 September 2025, 20:31.

Asap mengepul setelah serangan ‘Israel’ di Kota Gaza, 23 Agustus 2025. (Dawoud Abu Alkas/Reuters)
GAZA (Al Jazeera) – Kawasan tempat tinggal saya di Gaza timur, Shujayea, telah musnah. Menjadi puing-puing, tak tersisa satu bangunan pun.
Jalanan yang dulu penuh dengan tawa anak-anak, suara pedagang, dan hiruk pikuk kehidupan sehari-hari kini sunyi, teredam debu dan kehancuran. Masyarakat yang dulunya semarak, penuh cerita dan kenangan, telah terhapus dalam sekejap.
Beberapa hari yang lalu, saudara laki-laki saya, Muhammad, kembali ke Shujayea untuk memeriksa rumah keluarga kami.
Ketika kembali, ia memberi tahu ayah saya bahwa tidak ada yang tersisa kecuali beberapa dinding yang runtuh dan tiang-tiang yang berserakan.
Beberapa jam kemudian, kami terkejut mengetahui bahwa ayah saya sendiri telah berani menghadapi bahaya ekstrem untuk melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.
Di tempat setiap langkah bisa menjadi jalan kematian, ia memilih untuk melangkah langsung melewati reruntuhan masa lalu kami.
Itu adalah rumah yang dibangun kakek dan ayah saya dengan susah payah selama bertahun-tahun. Rumah yang mewujudkan impian ayah saya dan menyimpan jejak keringat serta pengorbanannya.
Di sinilah beliau membesarkan anak-anaknya, tempat kami merayakan pernikahan, tempat kenangan keluarga yang tak terhitung jumlahnya. Kini, rumah itu hanya tinggal puing-puing.
Namun, kehilangan yang dialami keluarga kami bukan hanya satu rumah tersebut. Masih ditambah apartemen saya sendiri yang dibakar, apartemen saudara perempuan saya, Nour, yang dibom, rumah saudara perempuan saya, Heba, yang dihancurkan, dan dua apartemen saudara perempuan saya, Somaia—satu menjadi puing-puing dan yang lainnya terbakar.
Belum termasuk gedung paman saya, Hassan, bangunan paman saya yang lain, Ziad, rumah paman saya, Zahir, apartemen bibi saya, Umm Musab, apartemen bibi saya, Faten, dan rumah-rumah bibi saya, Sabah, Amal, dan Mona, yang hancur total.
Ini baru kehilangan yang dialami keluarga inti kami. Di sekitar kami, tak terhitung kerabat, teman, dan tetangga yang telah menyaksikan rumah mereka juga hancur lebur, kenangan mereka terkubur di bawah reruntuhan.
Ini bukan hanya tentang nilai materi dari apa yang telah hilang dari kami. Ya, rumah-rumah itu dipenuhi perabotan, barang-barang pribadi, dan harta benda berharga, tetapi kehancurannya jauh lebih dalam daripada sekadar materi.
Hal yang telah direnggut dari kami tak tergantikan. Sebuah rumah dapat dibangun kembali, tetapi rasa memiliki ketika berjalan di jalanan yang familier, yang muncul dari tinggal di kawasan yang sama tempat generasi-generasi keluarga Anda tumbuh—tidak dapat dibangun kembali dengan batu bata dan semen.
Shujayea lebih dari sekadar bangunan. Itu adalah sebuah komunitas yang terjalin oleh hubungan, sejarah bersama, dan kenangan akan kehidupan sehari-hari.
Di dalamnya terdapat toko roti di lingkungan tempat kami membeli roti segar saat fajar, toko kecil tempat para tetangga berkumpul untuk mengobrol, masjid kuno Ibn Othman yang bergema dengan lantunan doa selama Ramadan.
Juga berbagai ruang tempat anak-anak bermain, tempat keluarga merayakan, dan tempat para tetangga saling mendukung pada saat suka maupun duka.
Ketika sebuah lingkungan seperti Shujayea terhapus, bukan hanya temboknya yang runtuh. Kehancuran tersebut memutus hubungan antartetangga, menceraiberaikan keluarga di berbagai tempat penampungan dan kamp pengungsian, serta meninggalkan luka mendalam yang tak dapat disembuhkan sepenuhnya oleh proyek rekonstruksi apa pun.
Rumah yang dibangun kembali mungkin bisa memiliki dinding dan atap yang mirip, tetapi ia tak akan menjadi rumah yang sama yang pernah menyimpan kisah-kisah dari generasi ke generasi.
Rasa sakit atas kehilangan ini tidak hanya dirasakan keluarga saya. Di seluruh Gaza, seluruh permukiman telah rata dengan tanah.
Setiap tumpukan puing menyembunyikan sejarah sebuah keluarga, tawa anak-anak, kebijaksanaan para tetua, dan kasih sayang masyarakat yang pernah tumbuh subur di sana.
Setiap rumah yang hancur menjadi saksi bisu atas kerugian kemanusiaan akibat agresi genosida ini; kerugian yang tak ternilai harganya dengan uang atau nilai kerusakan.
Yang telah hilang bukan hanya harta benda, tetapi juga identitas. Rumah adalah tempat kehidupan seseorang terbentang, tempat momen-momen bersejarah dirayakan, tempat duka dibagikan, tempat ikatan terbentuk.
Melihat begitu banyak rumah hancur bagaikan melihat seluruh bangsa tercerabut dari tempat-tempat yang telah membentuk mereka. Ini adalah penghapusan yang terencana, bukan hanya nyawa, tetapi juga ingatan, warisan, dan keterikatan.
Membangun kembali tidak akan mengembalikan apa yang telah direnggut. Bangunan-bangunan baru, in syaa Allah, akan berdiri di atas puing-puing kenangan kami.
Bangunan-bangunan itu tidak akan mengembalikan kerja keras ayah saya selama bertahun-tahun, atau rasa nyaman dan aman yang pernah datang bersama sebuah rumah.
Mereka tak akan membangkitkan kembali kawasan yang kami kenal, yang penuh kehangatan, keakraban, dan kehidupan.
Kehancuran Shujayea adalah luka yang akan tetap menganga dari generasi ke generasi. Ini bukan sekadar masalah bantuan kemanusiaan atau dana rekonstruksi. Ini tentang penghancuran hati dan jiwa sebuah komunitas secara sengaja.
Tak ada beton yang mampu membangun kembali kepercayaan, memulihkan kenangan, maupun mengembalikan tetangga yang telah syahid dibunuh.
Shujayea telah lenyap. Bersamanya, sebagian dari diri kami terkubur. Namun, bahkan di tengah duka mendalam ini, kami masih berpegang teguh pada kisah-kisah itu, pada kasih sayang yang pernah memenuhi rumah kami, pada harapan bahwa suatu hari keadilan akan ditegakkan.
Meskipun mereka dapat menghancurkan rumah kami, mereka tak dapat menghancurkan ikatan yang kami bawa di hati kami, maupun kenangan yang tak dapat dihapus oleh buldoser maupun bom sekalipun. (Al Jazeera)
Disadur dari tulisan Asem Alnabih, juru bicara pemerintah Gaza
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
