Bangsa Rohingya Tak Sekadar Perlu Bantuan, Melainkan Solusi Permanen atas Krisis Berkepanjangan

8 October 2025, 21:29.

Seorang muhajirin Rohingya terlihat sedang menyeberangi Sungai Naf bersama keluarganya untuk mencapai wilayah Bangladesh pada September 2017. (Arsip The Daily Star)

MYANMAR (The Daily Star) – Respons kemanusiaan terhadap krisis Rohingya hingga kini dinilai jauh dari cukup. Sebab yang dibutuhkan bukan hanya bantuan, melainkan solusi politik untuk memastikan kepulangan mereka secara aman dan bermartabat ke Myanmar.

Bangsa Rohingya menyerukan kepemimpinan aktif dari PBB, kekuatan regional, serta Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk menekan petinggi-petinggi Myanmar.

Mereka juga mendesak PBB, negara-negara, dan mahkamah internasional agar mendapatkan jaminan dari otoritas Myanmar terkait repatriasi, serta memastikan adanya akuntabilitas atas kejahatan masa lalu.

Para muhajirin menuntut keterlibatan langsung perwakilan Rohingya yang terdidik dalam merancang peta jalan kepulangan mereka.

Temuan ini diungkap dalam laporan terbaru Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB (OHCHR), berdasarkan kesaksian 125 muhajirin, baik pria maupun perempuan Rohingya di kamp pengungsian Cox’s Bazar.

Laporan berjudul “Rohingya Perspectives on Pathways to a Safe, Dignified, and Peaceful Future” itu dirilis menjelang Konferensi Tingkat Tinggi Sidang Umum PBB tentang krisis Rohingya dan minoritas lain di Myanmar.

Bangsa Rohingya menolak tegas kemungkinan hidup di bawah kekuasaan kelompok bersenjata Arakan Army (AA), yang mereka cap sebagai teroris dan perampok.

Lebih dari 70% responden menilai AA tengah berusaha menghapus jejak keberadaan Rohingya di Arakan.

Sisanya khawatir akan menghadapi kerja paksa, penindasan karena perbedaan agama, atau dikurung dalam kamp jika dipulangkan di bawah kendali AA.

Mereka juga melaporkan beragam pelanggaran: penangkapan sewenang-wenang, penculikan, pembatasan pergerakan yang brutal, dengan perempuan dan anak-anak yang menanggung kerentanan paling besar.

Meski masih belum juga ada titik terang, para muhajirin tetap bersatu dalam tekad untuk bisa pulang ke tanah air mereka, Arakan (Rakhine, Myanmar). Setiap orang menekankan bahwa repatriasi adalah tujuan akhir mereka—asalkan syarat mendasar dipenuhi.

Syarat itu mencakup kewarganegaraan penuh, pengakuan identitas Rohingya, serta jaminan atas kesetaraan hak, pendidikan, kebebasan beragama, mata pencaharian, dan kebebasan bergerak.

Namun, dengan konflik yang makin memanas antara AA dan militer Myanmar, ditambah pemilu di bawah junta yang dianggap 95% responden tidak sah, harapan untuk segera pulang masih tipis.

Sebanyak 20% peserta menegaskan bahwa AA tidak layak menjamin hak mereka sebab tidak memiliki legitimasi internasional.

Banyak pula yang menegaskan rasa memilikinya terhadap Myanmar, terutama kalangan muda, yang menyatakan siap berkontribusi membangun negeri jika diperlakukan setara.

Dalam menelusuri akar krisis, 65% responden menunjuk pada rasisme dan intoleransi agama yang mengakar. Mereka mengatakan bahwa ketakutan terhadap Muslim sengaja diproduksi di Myanmar untuk merampas hak dan kewarganegaraan mereka.

Komunitas Rohingya juga mengakui bahwa puluhan tahun kehilangan pendidikan dan perpecahan internal telah membuat mereka tak berdaya secara politik.

Namun, sebagian besar tetap menegaskan masa depan yang mereka harapkan adalah hidup berdampingan secara damai dengan kaum Buddha Rakhine—bukan sebagai bentuk penyerahan diri, melainkan sebagai ekspresi keteguhan, ketahanan, dan rasa memiliki.

Ke depan, para muhajirin menyerukan negara Myanmar yang demokratis dengan konstitusi inklusif dan pemilu yang benar-benar sah.

Mereka juga mendesak komunitas internasional untuk membentuk misi penjaga perdamaian PBB atau zona aman internasional di Maungdaw, Buthidaung, dan Rathedaung untuk menjamin keamanan selama repatriasi.

Keadilan, bagi mereka, bermakna pemulihan kewarganegaraan, pengembalian tanah, kompensasi, serta penghukuman bagi para pelaku kejahatan.

Sebanyak 65% menyamakan keadilan dengan hak-hak penuh, 60% menuntut pengembalian tanah dan properti, sedangkan 58% menuntut pelaku kejahatan dan genosida dijatuhi hukuman penjara atau hukuman mati.

Bangsa yang menjadi korban genosida puluhan tahun oleh rezim Myanmar ini juga menekankan pentingnya pengakuan atas penderitaan mereka, meski banyak yang meragukan pengadilan internasional mampu menghadirkan keadilan secara tepat waktu.

Laporan OHCHR ini juga menyoroti krisis kepemimpinan: 45% responden menyatakan tidak merasa mempunyai perwakilan yang efektif, sedangkan 60% perempuan mengaku tidak tahu-menahu soal kepemimpinan saat ini.

Di Bangladesh, kebutuhan mendesak masih mendominasi kehidupan sehari-hari: ancaman dari kelompok bersenjata dan kriminal, minimnya pendidikan, serta kekurangan pangan, layanan kesehatan, dan tempat tinggal.

Separuh responden menekankan bahwa pendidikan bagi kaum muda adalah kunci untuk memulihkan martabat dan menyiapkan generasi pemimpin masa depan. 

Kesempatan mata pencaharian juga dipandang vital untuk mengurangi ketergantungan pada bantuan. 

Laporan OHCHR ditutup dengan rekomendasi untuk: memantau pelanggaran AA, memasukkan pengakuan atas penindasan Rohingya ke dalam gerakan pro-demokrasi Myanmar. 

Berikutnya; berinvestasi kepada pemuda dan masyarakat sipil Rohingya, memperluas akses pendidikan tinggi, serta memastikan reparasi—termasuk pengembalian atas kepemilikan tanah dan properti—dalam setiap rencana repatriasi. (The Daily Star)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Warga Eropa Satu Suara: “Hentikan Genosida di Gaza!”
Bangunan Universitas Al-Azhar Gaza Hancur Digempur Penjajah Zionis  »